Duka derita duka lara di dunia, tidak akan aku sesali atau ku tangisi
sesakit apapun yang kurasakan dalam hidupku, semoga tak membuatku kehilangan kejernihan jiwa
Andaikan dunia mengusir aku dari bumi, aku tak akan merintih atau menangis
ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia bukan alasan bagiku untuk membalasnya
Asalkan karena itu Tuhan menjadi sayang padaku
Segala kehendak-Nya menjadi syurga bagi cintaku
Aku tidak takut dengan perkataan manusia, tapi aku takut dengan pandangan Tuhan
Ada dan tidaknya aku semata-mata adalah milik-Nya
#Syair by Kyai Kanjeng Emha Ainun Najib
Selasa, 09 Oktober 2012
Senin, 16 Juli 2012
Perintah Yang Digugurkan....
Dalam
suatu pertemuan dan obrolan hangat dengan seorang teman dia bercerita
kalau dia pergi dari rumah untuk menikahi pacarnya
yang tidak direstui orang tuanya. Dalam pandangan ku memang pacarnya tidak mempunyai “cacat syar'i” hehe....,
ini hanya soal pandangan dan kriteria manusia dalam memandang
kehidupan. Dan itu pun juga yang jadi alasan temanku untuk lebih
memilih isterinya (sekarang) dari pada orang tuanya, dia bilang orang
tua tidak selalu benar. Spontan saya balik bertanya “lalu apakah
orang tuamu salah?”, dia menjawab “tidak juga”. Dia melanjutkan
jawabannya, “tapi saya laki-laki, yang sudah mampu menikah
dan tidak butuh orang tua atau keluarga yang bertindak sebagai wali
untuk menikahkan saya”. Jawaban ini terus mengusik benak saya....
Dia
melanjutkan kisahnya, kalau sekarang hidupnya bahagia bersama dengan
isterinya. Hmmmm..... bisakah kalimat itu aku maknai kalau dia
bahagia melawan orang tuanya????
Benarkah agama ini mengajarkan demikian?
Setahuku ajaran ini adalah ajaran yang linier yang tidak bertabrakan
satu sama lain. Lalu mengapa perintah ibadah (menikah) dibenturkan
dengan perintah ibadah (taat kepada orang tua) yang lain? Tidak
diperlukannya seorang wali nikah baginya dia pahami kalau
dia boleh melawan orang tuanya.
Surat al-Isra' ayat (23) yang artinya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
Perintah
yang sama DIA tegaskan dalam surat an-Nisa' ayat (36), al-Ahqaf ayat
(15), maryam ayat (32), luqman ayat (14)
Perintah
taat kepada orang tua bukan perintah yang sederhana , perintah itu selalu disandingkan dengan ketaatan dan kewajiban menyembah
kepada-Tuhan.
Nabi Muhammad SAW pun menegaskan dalam sabdanya, terdapat 3 amal yang paling utama dan dicintai Allah,(1)
Sholat, (2) berbakti kepada kedua orang tua, (3) jihad di jalan
Allah" (HR. Bukhori). Imam Bukhori meriwayatkan dalam
riwayat lain bahwa Ridla Allah terletak pada ridho orang tua dan
kemarahan Allah terletak kepada kemarahan orang tua.
Masih
banyak perintah lain untuk taat kepada orang
tua. Dan dari sekian banyak perintah itu tak satupun kutemui bahwa
perintah itu menjadi gugur ketika anak laki-laki telah dewasa.
Menikah
merupkan penyempunaan separuh agama, maka sebagai suatu ibadah yang
sangat tinggi nilainya seharusnya tidak melukai hati orang yang
di bawah telapak kakinya ada syurga.
Ya Muqollibalqulub..., tsabbit qolbiii 'ala tho'atik. jagalah hati ini untuk selalu taat kepadamu.
Ya Muqollibalqulub..., tsabbit qolbiii 'ala tho'atik. jagalah hati ini untuk selalu taat kepadamu.
Wallahu
a'lam
Gedung
Sequis Center, lantai 9
Sudirman,
Senayan Jaksel
“Ibu...Seandainya
tuhan ijinkan manusia bersujud selain kepada-Nya, aku ingin bersujud
kepada mu”
Senin, 11 Juni 2012
Eksekusi Jaminan Fidusia Yang Tidak Bersertifikat
Denyut pergerakan ekonomi
Indonesia yang tumbuh menjadi peluang bagi para pelaku usaha untuk
membangun bisnis di bidang jasa pembiayaan konsumen yang mulai
popular sejak tahun 1974 (Abdul Kadir Muhammad: Lembaga Pembiayaan,
2004). Hubungan hukum yang terjalin antara konsumen dengan perusahaan
pembiayaan terwujud dalam bentuk perjanjian kredit dengan jaminan
fidusia, sehingga bentuk perikatan ini harus tunduk pada beberapa
aturan terkait diantaranya KUH Perdata Pasal 1313, Pasal 1338, Pasal
1320, UU Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, PP Nomor 86/2000
tentang Tata cara Pendaftaran Jaminan Fidusia, Peraturan Presiden No.
9/2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan peraturan terkait lainnya.
Perjanjian kredit sebagai
perjanjian pokok kemudian melahirkan perjanjian turunan yang bersifat
accessoir yaitu perjanjian jaminan fidusia dari Leasing
(Kreditor) kepada Konsumen (Debitor) demi melindungi dan memberikan
kepastian bagi Kreditor bahwa hutang atau kredit yang diberikan
kepada Debitor akan terbayar jika terjadi Debitor cidera janji, yaitu
dengan eksekusi objek benda jaminan fidusia. Jaminan Fidusia sendiri
merupakan suatu jaminan atas benda bergerak yang penguasaannya masih
dalam penguasaan Debitor meskipun telah terjadi pengalihan
kepemilikan (Ps. 1 butir 1 UU Fidusia).
Beberapa persoalan hukum
kemudian muncul mengiringi pertumbuhan usaha dalam praktek perjanjian
fidusia ini. Dari sekian banyak kasus dengan kondisi yang berbeda
kita dapat menarik satu benang merah yang menjadi akar persoalan.
Misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia diatur bahwa pembebanan
Objek Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaries, yang kemudian
didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia dalam lingkup Departemen
Hukum dan HAM Republik Indonesia (“Depkumham”) sebagaimana diatur
dalam Pasal 11 ayat (1) UU Fidusia.
Atas pendaftaran Objek Jaminan
Fidusia ini maka penerima Fidusia akan menerima Sertifikat Jaminan
Fidusia dengan tanggal berlaku sesuai dengan pendaftaran (Pasal 14
ayat 1), disinilah pangkal persoalannya bahwa jaminan fidusia baru
berlaku pada saat didaftarkan bukan pada saat dibuatnya akta jaminan
fidusia, sementara UU Fidusia maupun PP-nya tidak mengatur kapan
suatu Objek Fidusia harus didaftarkan. Sementara dalam Pasal 15 ayat
(2) Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang
sama dengan putusan pengadilan, artinya jika Debitor cidera janji
Kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas objek
jaminan fidusia yaitu dengan melakukan pengambilan dan menjual objek
jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Konsekuensi logisnya adalah
jika Kreditor tidak mempunyai sertifikat jaminan fidusia maka
Kreditor tidak berwenang untuk melakukan eksekusi, atau dengan
kondisi lain Debitor berhak mengalihkan Objek Fidusia sebelum Objek
fidusia didaftarkan (Ps. 36 UU Fidusia: ketentuan pidana bagi Debitor
yang mengalihkan Objek Fidusia tanpa persetujuan Kreditor). Kasus
seperti ini dapat dijumpai pada Putusan Kasasi MA No. 213
K/Pid/Sus/2010. Secara singkat, konsumen menjual mobil yang dibeli
dari Leasing secara kredit kepada pihak ketiga tanpa persetujuan
Leasing. Kasus ini ditarik menjadi kasus pidana terkait dengan norma
dalam Ps. 36 UU Fidusia. Pada putusan pengadilan tingkat pertama
konsumen dibebaskan dengan pertimbangan majelis hakim Objek Jaminan
Fidusia baru didaftarkan pada tahun 2008, sementara pengalihan
(penjualan) telah dilakukan pada tahun 2007. Namun pada putusan
kasasi MA terdakwa dijatuhi pidana penjara 6 (enam) bulan dan denda
Rp. 2.000.000 (dua juta Rupiah).
Pada
situasi seperti ini dimanakah kekuatan asas "Kebebasan
Berkontrak" yang diejawantahkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata?,
bahwa sebuah perjanjian menjadi undang-undang bagi para pihak yang
menandatanganinya. Hal-hal yang bersifat administratif (pemberlakuan
tanggal jaminan sesuai dengan tanggal pendaftaran) seharusnya tidak
mengesampingkan suatu asas dalam pemberlakuan suatu ikatan hukum.
Idealnya adalah pemberlakuan tanggal pendaftaran Sertifikat Jaminan
Fidusia diberlakukan sama dengan tanggal pada saat pembuatan Akta
Jaminan Fidusia, selain itu ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang Jaminan Fidusia harus mengatur kapan suatu Objek Jaminan
Fidusia wajib didaftarakan, dan apa konsekuensinya jika Objek Jaminan
Fidusia tidak didaftarkan namun hanya dibuat Akta Jaminannya saja.
Dengan demikian hak penerima fidusia dapat terlindungi secara utuh,
dan pemberi fidusia tidak salah memperlakukan suatu Objek Jaminan
Fidusia yang masih dalam penguasaannya.
Peraturan
perundang-undangan memang tidak selalu sempurna, dan cenderung lebih
tertinggal dari fakta hukum yang yang hidup di tengah masyarakat,
apalagi bagi suatu negara yang menganut sistem hukum civil
law. Karena suatu aturan
perundang-undangan yang tertulis akan lebih lambat progresnya terkait
dengan pembentukan, pengesahan suatu undang-undang. Namun demikian,
fakta yang hidup di masyarakat dapat menjadi sumber utama dari
amandemen suatu peraturan, karena hukum yang baik adalah hukum yang
hidup di tengah masyarakat (living law),
agar kerjasama yang terjalin antar subjek hukum tidak berujung pada
sengketa.
11 Juni 2012, Sequis Center
Lantai 9,
Sudirman, Senayan Jaksel
Selasa, 24 April 2012
Sang Profesor yang tak lagi kujumpai disini…..
Seperti biasanya pada jam
pulang kantor Jakarta diguyur hujan deras yang semakin menyesakkan
lalu lintasnya. Syukur lah situasi yang ruwet ini tidak menyurutkan
semangatku untuk datang kesana. Seseorang yang banyak menginspirasiku
menasihatkan untuk belajar menyikapi keruwetan Jakarta dengan tenang,
dan semua akan terasa ringan jika kita pandai mengelola emosi dan
memilih sikap terbaik disegala situasi. Dia yang telah menenggelamkan
aku dalam ketenangannya....
Waaahh ternyata sudah
sampai....,
Segera aku parkir motor
ku, dari dalam sayup terdengar doa penutup pertanda kegiatan telah
selesai dan siap melanjutkan kegiatan berikutnya. Moderator memulai
memandu acara, ku harapkan kali ini nama beliau yang disebut untuk
membimbing kami disini.…….. dan ternyata tidak.
Emmm….. sedikit agak
kecewa...
Selesai semuanya aku
ingin memastikan pada jadwal yang tertempel di papan pengumuman kapan
beliau dapat ku temui, ternyata tak ku jumpai nama beliau.
Yaaahhhh.....
4 bulan berlalu…..
Disuatu shubuh beliau
muncul di salah satu televisi yang selalu mendatangkan para guru yang
bukan hanya mengandalkan kemampuan retorika.
*Jangan lah kita
menuhankan hawa nafsu....., semua ibadah sudah ada tuntunannya…..,
maka ikuti lah tuntunannya. Dalam Islam tidak ada pergantian tahun
yang disambut dengan adzan.....
Oouwwhhh......, seketika
aku ingat moment 4 bulan yang lalu, dan itulah rangkaian acara saat
pergantian tahun ditempat itu, tempat yang tak kujumpai lagi beliau
disana. Apa ini sebab beliau tak hadir lagi.....
Sequis Center Lt. 9
Sudirman, Senayan Jaksel
*Kutipan tidak langsung
Dedicated to Prof. Ali
Mustafa Yaqub
Senin, 12 Maret 2012
MK Lindungi Hak Anak Hasil Zina
13
Februari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (“MK”)
membacakan putusan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (“UU Perkawinan”) yang diajukan
oleh Machica Mochtar seorang isteri sirri alm Moerdiono yang
kita kenal sebagai Menteri Sekretaris Negara di zaman Orde Baru.
Putusan MK telah mengubah suatu
norma hukum dalam UU Perkawinanan tentang status anak dalam Pasal
43 ayat (1), bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata (nasab, waris, wali)
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pemberlakuan norma hukum ini
merupakan turunan dari Pasal 2 ayat (2) bahwa setiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundag-undangan yang berlaku, dalam hal
seorang muslim maka perkawinan harus dicatatkan di Kantor Urusan
Agama, sementara bagi non muslim perkawinan tersebut harus dicatatkan
di Kantor Catatan Sipil.
Beberapa
hari setelah putusan MK dibacakan, masyarakat bereaksi dengan pro dan
kontra, maklum, norma hukum yang diubah oleh MK adalah bagian
dari hukum perkawinan yang sebagian besar diadopsi dari hukum Islam
(Fiqih).
Latar
belakang diuji nya norma dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan ini dianggap sebagai pelanggaran atas hak
konstitusional sebagaimana UUD 1945 mengatur dalam Pasal 28B ayat (2)
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hilangnya hubungan perdata sang anak dengan ayah biologisnya
berakibat pada tidak adanya hak-hak keperdataan lainnya seperti hak
nafkah dan hak waris. Dalam konteks ke -indonesia-an Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan bisa berdampak pada dua kondisi kelahiran anak.
Pertama, anak yang dilahirkan tanpa perkawinan, kedua, anak yang
dilahirkan di dalam perkawinan sirri. Padahal dalam hukum
Islam dua kondisi kelahiran anak tersebut jelas dibedakan. Anak yang
dilahirkan di dalam perkawinan sirri adalah anak sah dalam
Islam dan secara otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya,
karena sebenarnya dalam Islam tidak mengenal perkawinan sirri.
Sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan harus dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya.
Dengan putusan MK ini maka setiap anak yang dilahirkan harus
dinasabkan kepada ayah biologisnya asal dapat dibuktikan secara
ilmiah tentang adanya hubungan biologis tersebut, tanpa melihat ada
atau tidaknya hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya atau
perkawinan tersebut dicatatkan atau tidak (sirri). Norma baru ini sejalan dengan pemenuhan hak konstitusional sang anak yang
dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 agar anak dapat tumbuh,
dan berkembang tanpa ada hak yang dikurangi.
Dalam ajaran filsafat hukum, norma hukum harus dapat memenuhi 3
asas hukum yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian
hukum. Menurut aliran Utilitarian, keadilan dapat diukur dari
seberapa besar suatu dampak bagi kesejahteraan manusia (human
welfare). Keadilan bagi sang anak dapat diperoleh dengan suatu
perlakuan yang adil tanpa diskriminasi untuk memperoleh hak-hak yang
sewajarnya diperoleh bagi anak-anak lain yang dilahirkan di dalam
perkawinan yang sah dalam hal nafkah bagi kelangsungan hidup,
pendidikan dan masa depannya, termasuk juga hak waris. Asas
kemanfaatan, dengan putusan ini sang anak akan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik dengan adanya tanggung jawab ayahnya baik
itu berupa nafkah, waris maupun ketenangan psikologis yang berdampak
pada kehidupan sosialnya karena statusnya sebagai seorang anak yang
mempunyai ayah dan ibu. Sedangkan asas kepastian hukum dapat dijlihat bahwa
asal-usul anak jelas dapat diketahui siapa ayah biologisnya, bahwa
anak tersebut dilahirkan dari sebuah hubungan biologis laki-laki dan
perempuan, karena tidak mungkin seorang perempuan tiba-tiba hamil
tanpa melakukan hubungan biologis dengan seorang laki-laki, kecuali
ibunda Siti Maryam yang melahirkan Isa.
Paham Historical Jurisprudence menyebutkan bahwa hukum bukanlah suatu norma yang dibuat, tapi dia harus tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat. Dengan demikian maka fungsi hukum sebagai
penertib kehidupan sosial masyarakat menjadi hidup seperti dalam
paham Living Law. Perkembangan hukum bukan terletak pada suatu
aturan perundang-undangan, putusan pengadilan atau teori hukum, tapi
terletak pada masyarakat itu sendiri, maka hukum harus dirumuskan
dari suatu potret masyarakat social, karena hukum harus dapat
memecahkan dan menemukan solusi dari suatu permasalahan yang timbul
di tengah-tengah masyarakat agar hukum dapat melindungi hak-hak
subjek hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak lagi hanya merupakan
konsep dari suatu keadilan yang abstrak.
Perlindungan
hak anak di luar perkawinan sah yang lahir dari putusan MK ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) bahwa setiap
anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri. Dengan adanya norma baru ini MK membantu negara
dan pemerintah dalam pemenuhan Pasal 23 ayat (1) UU Perlindungan Anak
yang mewajibkan negara dan pemerintah untuk menjamin perlindungan,
pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan
kewajiban orang tua yang sebelumnya telah direduksi oleh Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan. Seorang ayah tidak dapat lagi lepas dari
tanggung jawab hukum keperdataan dari anak meskipun anak tersebut
lahir tanpa adanya perkawinan sah antara ayah dan ibunya. Hak
anak dalam kondisi apapun tidak dapat dikurangi karena hak anak
adalah bagian dari hak asasi manusia (‘HAM”) yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi sebagaimana didefinisikan dalam Pasl 1 ayat
(12) UU Perlindungan Anak.
HAM
dalam sebuah konsep adalah suatu hak manusia yang dipandang sebagai
manusia secara utuh yang yang tidak bisa dikurangi oleh faktro-faktor
diluar kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan. Indonesia sebagai negara
yang menjunjung tinggi nilai HAM dengan mencantumkannya dalam
konstitusi negara dalam bab XA yang membahas khusus tentang Hak Asasi
Manusia, dan mempunyai undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia (“UU HAM”). Negara mempunyai peran dan tanggung
jawab dalam melakukan penuhannya (state obligation) maupun
dalam bentuk penghormatan terhadap HAM (negative obligation).
Maka setiap anak yang dilahirkan harus mendapatkan hak nya secara
utuh salah satunya untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan yang
sama di depan hukum. Hak seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,
nafkah, waris dan hak keperdataan lainnya dari orang tuanya tidak
boleh dikurangi dalam kondisi apalagi disebabkan perbuatan kedua
orang tuanya yang dianggap tidak patuh terhadap prosedur maupun norma
hukum. Pasal 3 ayat (2) UU HAM menegaskan bahwa setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil
serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hukum.
Sebagai
pembelaan terhadap perempuan, saya setuju dengan MK , karena dengan putusan ini perempuan tidak lagi bertanggung jawab
sendiri atas anak yang dilahirkannya tetapi dia akan bertanggung
jawab bersama dengan ayah biologis sang anak. Namun sebagian kelompok
yang kontra terhadap putusan ini mengatakan bahwa putusan MK bukan
hanya mengubah suatu norma hukum tapi juga norma agama, sebagai suatu
ajaran yang transendental dan sakral sehingga tidak bisa diubah-ubah
sesuai perubahan zaman, selain alasan lain yaitu putusan ini dianggap
berpotensi menyuburkan perzinahan. Terkait hal ini, saya mempunyai
pendapat yang tentunya juga subjektif.
Menyuburkan
atau meminimalisir perzinahan dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Dari sudut pandang perempuan putusan MK sangat kecil pengaruhnya,
karena dengan atau tanpa putusan MK perempuan sejak dulu telah
menanggung akibat dari perbuatannya dengan mengasuh dan membesarkan
anaknya sendirian. Sedangkan dari sudut pandang laki-laki, putusan
ini tentu sangat berpengaruh. Kalau sebelumnya laki-laki bisa
meninggalkan perempuan (bukan isteri sahnya) yang dihamilinya tanpa
adanya tanggung jawab hukum apapun, maka dengan adanya norma baru ini
laki-laki wajib bertanggung jawab terhadap anak yang
dikandung perempuan tersebut. Hal ini tentu akan menjadi pertimbangan
matang bagi laki-laki yang gemar menelantarkan anak dari isteri sirri
atau perempuan simpanannya.
Dalam
salinan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 memang dalam pemeriksaannya hanya ada satu ahli agama dalam hal ini
Islam yang hadir dan memberikan keterangan. Padahal harapan saya,
keputusan ini setidaknya telah mendengarkan keterangan ahli agama
paling tidak tiga atau lebih untuk lebih meyakinkan kebenaran atas
perubahan status anak di luar kawin ini, karena implementasi dari
putusan MK ini dapat dikatakan juga sebagai implementasi dari sebuah
keimanan. Keterangan beberapa ahli agama ini penting untuk
menjelaskan apakah pe-nasab-an status anak zina merupakan
dalil Qoth'i yang mutlak tidak bisa berubah atau dalil Dhonni
yang dapat berubah sesuai kondisi zaman tentunya dengan melihat
apakah suatu ketentuan tersebut masih applicable atau tidak,
meskipun keputusan tetap berada pada para hakim konstitusi.
Dari
perspektif Islam, asal usul penetapan anak zina ini berasal dari
sebuah keputusan Nabi Muhammad (dalam ilmu Ushul Fiqih disebut
“Taqririyah”) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Abu Dawud bahwa pada zaman nabi terdapat seorang laki-laki yang
me-li'an (mengingkari) kehamilan isterinya dengan sumpah atas
nama Tuhan bahwa bayi yang dikandung isterinya bukan lanaknya.
Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan me-nasab-kan anaknya
kepada ibunya. Keputusan Nabi pada zaman itu tentu sangat tepat dan
logis, dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga upaya yang dilakukan oleh nabi hanya dengan meminta
laki-laki tersebut bersumpah atas nama Tuhan sebanyak tiga kali.
Namun dengan kondisi zaman sekarang dimana ilmu pengetahuan dan
teknologi secara terang benderang dapat membuktikan sesuatu yang pada
waktu itu belum dapat dibuktikan, pun demikian dengan pembuktian
adanya hubungan biologis antara seorang ayah dengan anaknya. Dalam
suatu kaidah ushulliyah yaitu suatu pondasi dalam merumuskan
hukum, terdapat suatu kaidah yang dikutip oleh Drs. Muchlis Usman MA
dalam bukunya Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah yang berbunyi
"Taghoyyuru al-ahkam bi taghoyyur al-azminah wa al-amkinah wa
al-ahwal" yang artinya perubahan hukum itu berdasarkan
perubahan zaman, tempat dan keadaan.
Kontroversi
penetapan status anak zina ini sebenarnya bukan baru terjadi saat ini
setelah putusan MK, tapi jauh-jauh hari para Imam Madzhab besar yang
terkenal dalam literatur fiqih Islam pun telah berbeda pendapat. M
Ali Hasan dalam bukunya Masail Fiqhiyah al-Haditsah
menjelaskan Imam Malik dam Imam Syafi'i berpendapat bahwa anak zina
harus dinasabkan kepada ayahnya apabila anak tersebut dilahirkan
setelah usia perkawinan ayah ibunya mencapai 6 bulan atau lebih,
begitu juga sebaliknya. Pendapat dua imam ini juga didasarkan atas
suatu alasan bahwa apabila kelahiran anak kurang dari 6 bulan usia
perkawinan ayah-ibunya maka besar kemungkinan anak yang dikandung
bukanlah anak dari laki-laki yang menikahinya. Menurut saya,
penetapan hukum yang demikian didasarkan pada suatu kemungkinan yang
sama-sama belum dapat dibuktikan secara pasti, alias "tebak-tebakan".
Pendapat berbeda dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak
hasil zina harus dinasabkan kepada ayah biologis tanpa melihat usia
perkawinan ayah ibunya dengan kelahiran anak tersebut. Dalam hal ayah
ibunya menikah setelah terjadinya kehamilan, maka pendapat Imam Malik
dan Imam Syafi'i baru dapat digunakan. Sedangkan pendapat Imam Abu
Hanifah logis digunakan dalam hal baik itu ayah ibunya menikah maupun
tidak setelah terjadinya kehamilan akibat zina tersebut.
Dalam
Islam tidak dikenal dengan adanya dosa turunan sebagaimana dalam
surat an-Najm ayat (38) “alla taziru waa zirotun wizro ukhro”
bahwa tidak ada orang yang berdosa akibat memikul dosa orang lain.
Dengan demikian putusan MK ini sejalan dengan konsep tersebut karena
sang anak tidak lagi mendapat hukuman akibat perbuatan ayah ibunya,
namun mereka mendapatkan hak yang sama baik itu dilahirkan dalam
perkawinan yang sah, perkawinan sirri maupun tanpa adanya perkawinan,
sehingga sang anak mempunya hak-hak yang sama.
Wallahu
a'lam
Jumat, 09 Maret 2012
Yang Dibiarkan
Kontroversi seputar pembubaran suatu organisasi massa ("Ormas") sedang radikal mengemuka di tengah masyarakat, seiring dengan aksi-aksi demo anarkisme yang sering terjadi. Kelompok pendukung dan penentang pembubaran bersuara dengan se-jagad argumen dengan dalil-dalil agama.
Kalau kita mau berfikir adil, sebenarnya pembubaran bukan suatu solusi yang tepat untuk memberantas aksi-aksi anarkisme yang melanggar hukum. Konstitusi kita melindungi kebebasan berserikat dan berkumpul dalam Pasal 28E ayat (3) yang kemudian diejawantahkan dengan pembentukan Ormas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan ("UU Ormas").
Norma dalam UU Ormas cukup menjelaskan mengenai tujuan pembentukan, larangan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila atau ketertiban umum, bahkan sampai pada sanksi bagi Ormas yang melanggarnya dengan pembekuan kegiatan atau pembubaran. Meskipun demikian, UU Ormas yang "jadul" ini tetap membutuhkan revisi dan penyempurnaan.
Lalu apa yang salah? Mungkin penegakan hukumnya. Tanpa melihat norma dalam UU Ormas, aksi-aksi anarkisme dan main hakim sendiri sudah jelas suatu pelanggaran hukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana ("KUHP"). Pembiaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap aksi anarkis inilah yang kemudian dijadikan legitimasi bagi Ormas bahwa apa yang dilakukannya adalah benar dan bukan suatu pelanggaran hukum, apalagi mereka membawa dalil agama yang bagi mereka adalah suatu ajaran yang transenden.
Dari perspektif agama, dalil-dalil peperangan terhadap suatu kemungkaran/kemaksiatan banyak digunakan. Mestinya kita tidak melepaskan suatu konteks kejadian dengan dalilnya yang lahir pada masa peperangan nabi atau dalam konteks Indonesia situasi tersebut bisa dianalogikan dengan zaman penjajahan Jepang atau Belanda di mana belum ada pemerintah yang berdaulat.
Ada 3
peran pengubah kemungkaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sang panutan, "Siapa yang melihat suatu kemungkaran hendaklah dia mengubah dengan tangannya, kalau tidak mampu maka dengan lisannya, kalau tidak mampu maka dengan hatinya. Ketahuilah bahwa demikian adalah selemah-lemahnya iman". Banyak ulama yang memberikan penafsiran bahwa 3 peran tersebut dijalankan oleh 3 elemen kelompok, yaitu pemerintah dengan kekuasaannya, ulama dengan lisannya dan masyarakat sipil dengan hatinya. Ormas tentu saja termasuk masyarakat sipil yang hanya bisa melakukan pengubahan dengan lisan atau hatinya. Ini bukan berarti masyarakat sipil termasuk golongan yang paling lemah imannya, tapi ada sebuah sistem pemerintahan dan penegakan hukum yang harus dihormati dan ditaati. Al-Qur'an memerintahkan kita untuk tidak hanya taat kepada Tuhan dan Rosul tapi juga taat kepada pemerintah "athii'ulah wa athii'urrosul wa ulil amri min kum...".
Saat melihat aksi demo anarkis melalui tayangan televisi tidak henti-hentinya batin saya menggumam, Ya Tuhan... inikah manusia? Makhluk yang KAU tunjuk sebagai khalifah di bumi ini, karena akal yang telah KAU anugerahkan kepada mereka. Apa fungsi akalnya? Bukankan akal yang membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibanding makhluk-Mu yg lain? Kalau manusia sudah tidak memfungsikan akalnya, lalu apa bedanya mereka dengan binatang?
Saat melihat aksi demo anarkis melalui tayangan televisi tidak henti-hentinya batin saya menggumam, Ya Tuhan... inikah manusia? Makhluk yang KAU tunjuk sebagai khalifah di bumi ini, karena akal yang telah KAU anugerahkan kepada mereka. Apa fungsi akalnya? Bukankan akal yang membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibanding makhluk-Mu yg lain? Kalau manusia sudah tidak memfungsikan akalnya, lalu apa bedanya mereka dengan binatang?
Sebuah hadist nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud "inna al-ghodzoba min as-syaithon, wa inna as-syaithon khuliqo min an-naar......" sesungguhnya kemarahan itu datangnya dari setan, dan setan itu diciptakan dari api......"
Agama kita adalah agama yang sangat besar, sangat komplek ajarannya baik yang berupa ketegasan dalam bertindak maupun yang bersifat saling mengasihi dan penuh rahmat. Kita sebagai ummat harus pandai-pandai memilah dan memilih mana dalil yang tepat untuk kita gunakan sebagai pedoman dalam bertindak. Agama kita tidak akan musnah dari bumi ini, karena Tuhan menjaganya.
Agama kita adalah agama yang sangat besar, sangat komplek ajarannya baik yang berupa ketegasan dalam bertindak maupun yang bersifat saling mengasihi dan penuh rahmat. Kita sebagai ummat harus pandai-pandai memilah dan memilih mana dalil yang tepat untuk kita gunakan sebagai pedoman dalam bertindak. Agama kita tidak akan musnah dari bumi ini, karena Tuhan menjaganya.
Wallahu a'lam
Saudara-saudaraku....., semangat kalian untuk membela agama adalah sesuatu yang sangat mulia, tapi jangan lupa ada saudara kita yang lebih membutuhkan kobaran semangat kalian, merekalah saudara kita yang sedang berjuang di Palestina atas gempuran tentara Israil.
Sequis Center Building Lt. 9
Sudirman, Senayan Jakarta Selatan
Lokasi: Sudirman, Senayan Jakarta Selatan
Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta 12220, Indonesia
Rabu, 07 Maret 2012
Pojok Hati
Pagi ini dia kembali bertanya "kapan?". Dengan ekspresi ceria sekedar
untuk menunjukkan klo aku menjalani semua dengan baik-baik saja,
aku jawab klo aku sendiri belum tahu. Dia kembali bertanya apa pesannya
sudah disampaikan, sekaligus memintaku untuk siap menghadapi segala
kemungkinan. Dalam hati aku menjawab "Baik lah..., ga usah hawatirkan aku
soal ini", toh aku sudah pernah menghadapinya, tentunya lebih
berat. Aku terus meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi adalah atas skenario-Nya.
Di suatu malam, dalam sujudku yang panjang
yang aku niatkan untuk merayu Tuhanku agar mengabulkan hajatku........, justru aku tidak sanggup membuka mulutku yang basah dengan tetesan air mata. Bagaimana bisa aku mau merayu-Nya? sedangkan permohonan ampunan-ku pun belum
cukup dan mungkin juga belum diterima, apalagi syukur ku...., sejagad rahmat DIA belum pernah aku syukuri.
Kuberanikan diri untuk berbicara kepada-Nya,
Tuhan......, terima kasih KAU telah mengangkatku dari penghiatanku kepadanya
Terima
kasih kau telah memaksaku untuk kembali kepada-Mu, meskipun dengan
mengeringkan air mataku, ternyata KAU lebih tahu kalau aku tidak mampu
bertanggung jawab atas pilihanku saat itu.
Ternyata hanya itu yang berani aku katakan kepada-Nya. Aku tidak sanggup meminta apa yang menjadi keinginanku saat ini, aku hanya mampu berkali-kali meminta ampun.
Yaaahhh...... biarlah begini....... Bukankah Nabi Yunus ketika tertelan ikan bukan berdoa kepada Tuhan untuk dikeluarkan, tapi beliau justru mengucapkan "laa ilaaha illa anta shubhanaka inni kuntu min adh-dholimiin". Bukankah ibunda Siti Hajar ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di padang pasir yang tandus bersama Ismail yang terus menangis karena lapar dan haus bukan rejeki yang beliau minta dari Tuhan, tapi beliau justru meminta ampun "Robbii ighfir....., warham..., wa'fu..."
Ternyata hanya itu yang berani aku katakan kepada-Nya. Aku tidak sanggup meminta apa yang menjadi keinginanku saat ini, aku hanya mampu berkali-kali meminta ampun.
Yaaahhh...... biarlah begini....... Bukankah Nabi Yunus ketika tertelan ikan bukan berdoa kepada Tuhan untuk dikeluarkan, tapi beliau justru mengucapkan "laa ilaaha illa anta shubhanaka inni kuntu min adh-dholimiin". Bukankah ibunda Siti Hajar ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di padang pasir yang tandus bersama Ismail yang terus menangis karena lapar dan haus bukan rejeki yang beliau minta dari Tuhan, tapi beliau justru meminta ampun "Robbii ighfir....., warham..., wa'fu..."
Dan lag-lagi..... maaf aku belum mampu saat ini. Yakinlah bahwa tidak ada sesuatu yang terlambat atau terlalu cepat, semua datang tepat pada waktunya kalau kita menjadikan Tuhan sebagai pembimbing. Tapi kalau kau tidak
sabar......, mohon bantu aku meminta kepada-Nya.
Sequis Center Building Lt. 9
Sudirman, Jakarta Selatan
Sudirman, Jakarta Selatan
Lokasi: Sudirman, Senayan Jakarta Selatan
Senayan, Jakarta 12190, Indonesia
Haji Pengabdi Syetan
Aku duduk bersimpuh berselimutkan mukena beralaskan karpet Turki yang empuk dan hangat. Kunikmati kemegahan bangunnanya, kebersihannya dan ku hirup sejuknya udara di dalam Rumah Allah ini, kurasakan ketenangan jiwa setelah keluar dari penatnya urusan dunia. Di sini aku ingin menempa jiwaku bersama para pembimbing spiritual yang mengagumkan bagiku. Aku ingin menjadi jiwa yang tenang, agar Tuhan memanggilku dengan mesra "Yaa ayyatuhannafshul muthmainnah, irji'ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fad khulii fii "ibaadii, wad khulii jannatii".
Ku
matikan hape ku agar tidak ada bunyi tuiingg....., blukutuk, plug-plug
atau bahkan lagu. aku tidak ingin apapun menggangguku saat ini, apalagi urusan
tadi siang yang telah menyita waktuku kurang lebih 9 jam sampai aku
harus mencari celah-celah waktu saat panggilan Tuhanku datang. Sekarang saatnya aku hadapkan segenap jiwaku.
Prof.
Ali Musthofa Ya'qub, seorang ulama besar ahli Hadist dan Imam Besar Masjid Istiqlal sedang menyampaikan
ceramahnya.
*Sejak Haji diwajibkan, Rosululloh Muhammad Saw hanya haji 1x yang kemudian kita kenal dengan Haji Wada', dan umroh
hanya sebanyak 3x, padahal beliau punya banyak kesempatan untuk
berkali-kali melakukan haji dan/atau umroh. Sementara kita? Rasanya
kalau Allah memberikan rejeki maunya berangkat haji setiap tahun dan umroh
setiap bulan.
Obsesi kita untuk pergi haji dan umroh terkadang sering
melupakan ibadah sosial kita. Kita lupa bahwa disekeliling kita masih
banyak yang tidak mampu yang membutuhkan pertolongan, ada
orang-orang tua yang lapar tidak sanggup lagi berkarya sementara anak
mereka entah kemana, anak-anak yatim yang butuh makan, yang tidak mampu
membayar biaya pendidikan, masih banyak saudara yang tinggal di
tempat yang tidak layak, semua butuh pertolongan.
Ada yang perlu kita tahu, bahwa setan menggoda manusia disesuaikan dengan objek yang digodanya.
Setan bukan hanya menyuruh manusia untuk mencuri, berzina, korupsi atau
kemaksiatan lain. Setidaknya hal ini pernah terjadi pada seorang sahabat
Rosullullah yaitu Abu Hurairah ("AH").
*Pada suatu malam AH
mendapati serorang pencuri mendatangi rumahnya, setelah ditangkap
pencuri itu mengiba-iba agar dilepaskan dengan alasan dirinya
mencuri karena terpaksa, belum makan dan sejumlah alasan lain.
Kejadian ini beliau laporkan pada Rosulullah, dan Rosullullah mengatakan
bahwa nanti malam pencuri itu pasti datang lagi, dan meminta AH untuk
menangkapnya. Pada malam ke-2, ternyata pencuri itu datang lagi dan AH
langsung menangkapnya, tapi kejadian malam pertama terulang dan AH
melaporkannya lagi kepada Rosullullah. Rosullullah mengatakan dan
memerintahkan hal yang sama. Pada malam ke-3 pencuri itu datang lagi,
dan AH bertekad tidak akan melepaskan pencuri itu lagi apapun alasannya.
Setelah ditangkap, AH mengatakan kalo kali ini pencuri itu tidak akan
dia lepaskan, dan pencuri pun siap untuk diserahkan kepada Rosullullah,
namun sebelumnya pencuri mengatakan satu hal pada AH yaitu menganjurkan
AH untuk membaca ayat kursi sebelum tidur agar tidak diganggu setan.
Mendengar nasihat dari pencuri itu akhirnya hati AH
luluh dan kemudian dilepaskannya dengan alasan apa yang
disampaikan pencuri adalah suatu kebaikan. Kejadian malam ke -3
ini dilaporkannya lagi kepada Rosullulloh dan beliau mengatakan bahwa
apa yang disampaikan oleh pencuri itu adalah benar, tapi "tahukah kamu,
siapa kah pencuri itu? dia adalah setan".
Cerita ini menggambarkan bahwa
setan juga memerintahkan kita suatu kebaikan agar kita melupakan
kebaikan yang lain yang lebih utama. Dan godaan dengan menyampaikan
pesan-pesan baik itu tentu ditujukan kepada orang yang baik juga,
sedangkan godaan dalam bentuk maksiat ditujukan untuk orang-orang yang
gemar berbuat maksiat.
Seorang sahabat Prof. Ali yang bernama Al-Mukarrom
Alaudin az-Zaktany yang kebetulan beliau adalah anggota Dewan Syariah
Republik Syiria bercerita kepada Prof. Ali bahwa ada seorang ulama
Syiria yang didatangi oleh seseorang dan menyampaikan bahwa dirinya
ingin berangkat haji untuk yang ke-2 kali nya.Ulama tersebut bertanya,
apakah disekitarnya tidak ada anak yatim yang membutuhkan
pertolongannya? orang tersebut mengatakan ada, lalu ulama tersebut
memerintahkan kepadanya untuk membatalkan haji nya dan menggunkan
uangnya untuk membantu anak-anak yatim itu seluruhnya. Pada tahun
berikutnya orang tersebut datang lagi dengan menyampaikan hal yang sama,
lalu ulama tersebut bertanya apakah disekitarnya tidak ada janda-janda
miskin yang membutuhkan pertolongannya? ketika dijawab ada, ulama
tersebut memerintahkan agar orang tersebut membatalkan hajinya dan
menggunakan uangnya untuk membantu janda-janda miskin tersebut
seluruhnya.
Pada tahun berikutnya orang tersebut datang lagi dan
menyampikan hal yang sama, lalu ulama tersebut bertanya apakah
disekitarnya semua warga sudah memiliki rumah? ketika dijawab tidak,
ulama tersebut memerintahkan untuk membatalkan haji nya dan menggunakan
uangnya untuk membantu membangun rumah bagi orang-orang yang belum
memiliki rumah.
Kalau saja semua Muslim bisa menjaga keseimbangan antara hablun min allah dan hablun min an-naas
maka mungkin tidak ada Muslim yang miskin, itulah makanya Zakat menjadi
salah satu Rukun Islam, ditambah dengan bentuk-bentuk sunnah yang lain
seperti infaq dan shodaqoh.
Prof. Ali sendiri prihatin
dengan fenomena ini sehingga beliau menulis buku yang berjudul "Haji
Pengabdi Setan".
http://www.goodreads.com/book/show/12984199-haji-pengabdi-setan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mau mengeluarkan fatwa tentang fenomena haji berkali-kali ini, namun setelah dilakukan penelitian ternyata Nahdhatul Ulama (NU) sudah pernah mengeluarkan fatwa terkait hal ini pada tahun 1971, sehingga MUI membatalkannya.
http://www.goodreads.com/book/show/12984199-haji-pengabdi-setan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mau mengeluarkan fatwa tentang fenomena haji berkali-kali ini, namun setelah dilakukan penelitian ternyata Nahdhatul Ulama (NU) sudah pernah mengeluarkan fatwa terkait hal ini pada tahun 1971, sehingga MUI membatalkannya.
Di suatu wilayah di Indonesia (saya lupa
persisnya) ada yang antrian haji-nya hingga mencapai 13 tahun. ini akibat fenomena banyaknya Muslim yang haji
berulang, kenapa tidak kita berikan kesempatan pada yang
belum menunaikannya?
Apakah mayoritas Muslim di Indonesia sudah membuat Indonesia menjadi negara yang Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur?
3 November 2011,
Sequish Center Building lantai 9
Sudirman, Jakarta Selatan
*merupakan kutipan tidak langsung
Sabar Telah Menyelamatkan Diri dan Keluarganya
Cerita Seribu Satu Malam,
Sequis Center Lt. 9
Sudirman Jakarta Selatan
Quoted from DR. Ibdalsyah @Rumah ke-Agungan Tuhan
*Kutipan tidak langsung
Seorang pemuda kaya raya berasal dari Bagdad
merupakan seorang yang gemar dan haus akan ilmu. Suatu hari dia ingin
melanjutkan pendidikannya ke Istambul Turki. Banyak yang
menyarankan agar dia menikah terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendidikannya agar ada seseorang yang menjaga hartanya. Dia pun menikah dengan seorang gadis, dan beberapa hari kemudian
meninggalkan istrinya di rumah beserta hartanya untuk pergi ke Istambul. Konon pada waktu itu, belajar ke luar negeri bukan
hanya butuh waktu 1,2 atau 3 tahun, namun 10 bahkan 20 tahun.
20
tahun kemudian, ketika dia telah merasa cukup dengan ilmunya memutuskan
untuk pulang kembali ke Bagdad. Demi menempuh perjalanan panjang dan
berhari-hari dari Bagdad ke Istambul, dia mempersiapkan perbekalan berupa makanan dan tidak lupa persenjataan
sebagai perlindungan diri. Di zamannya dengan media komunikasi yang masih terbatas, dia melakukan perjalanan pulang tanpa memberitahukan isterinya. Di tengah perjalanan,
satu hari sebelum dia sampai ke rumah, dia bermalam di rumah seorang
kakek tua dan menyempatkan diri untuk memberi ceramah agama kepada
penduduk setempat. Ternyata penduduk sangat antusias dengan kedatangan
dan ceramah yang diberikan oleh nya.
Agar dia bersedia menunda perjalanannya untuk beberapa hari, sang kakek mengajukan pertanyaan kepadanya tentang apakah sumber kebahagiaan itu? Dia pun tidak dapat menjawab, lalu sang kakek memintanya untuk tinggal seminggu lagi dan setelah itu sang kakek akan memberitahukan tentang sumber kesabaran itu.
Nasrudin
berpikir panjang, tentu hal ini sangat berat baginya karena 20
tahun dia telah meningglkan isterinya sementara perjalanan untuk menemui isterinya tinggal satu hari lagi. Namun
karena keingin tahuannya dan rasa terima kasihnya kepada sang kakek dia
bersedia untuk tinggal satu minggu lagi. Setelah satu minggu, sang
kakek pun memberitahukan bahwa sumber kebahagiaan adalah SABAR (satu kata
yang sering dan sudah biasa dia dengar), namun tanpa disadari dia bahkan telah
menjalankan pesan sabar itu.
Dia melanjutkan
perjalanannya dan sampai di depan rumahnya pada waktu tengah malam. Namun apa yang dia dengar dari depan rumah sungguh mengiris hatinya, dia mendengar
isterinya sedang bercanda dengan seorang pemuda. dia pun naik pitam
dan hampir saja menghunus pedangnya untuk membunuh pemuda itu. Namun
pesan sang kakek tentang kesabaran terngiang di telinganya, wajah
sang kakek membayang dihadapannya. Pemuda itu membatalkan niatnya dan
memutuskan untuk berhenti di sebuah warung kecil dekat rumahnya.
Pemuda itu berbicara dengan seorang ibu penjaga warung.
Dalam perbincangannya dia bertanya tentang siapakah yang sekarang mengasuh dan menghidupkan masjid yang berada di kampunya. Penjaga warung pun bercerita bahwa 20 tahun yang lalu ada seorang pemuda yang mengasuh masjid itu, namun sekarang dia berada di Istambul untuk melanjutkan pendidikannya. Pemuda itu meninggalkam isterinya yang baru beberapa hari saja dinikahinya. Tanpa diketahuinya, isterinya mengandung seorang anak laki-laki dari hasil pernikahan itu. Anak itulah yang sekarang mengasuh masjid ini, dia sudah menjadi ulama besar.
Pemuda itu menangis terharu mendengar jawaban penjaga warung. Waktu shubuh
tiba, pemuda itu mengikuti sholat berjamaah shubuh di masjid itu dimana anaknya yang bertindak sebagai Imam.
Pesan sabar dari sang kakek telah menyelamatkan keluarganya.
6 Maret 2012Pesan sabar dari sang kakek telah menyelamatkan keluarganya.
Sequis Center Lt. 9
Sudirman Jakarta Selatan
Quoted from DR. Ibdalsyah @Rumah ke-Agungan Tuhan
*Kutipan tidak langsung
Langganan:
Postingan (Atom)