Senin, 12 Maret 2012

MK Lindungi Hak Anak Hasil Zina


13 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (“MK”) membacakan putusan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (“UU Perkawinan”) yang diajukan oleh Machica Mochtar seorang isteri sirri alm Moerdiono yang kita kenal sebagai Menteri Sekretaris Negara di zaman Orde Baru.

Putusan MK telah mengubah suatu norma hukum dalam UU Perkawinanan tentang status anak dalam Pasal 43 ayat (1), bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata (nasab, waris, wali) dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pemberlakuan norma hukum ini merupakan turunan dari Pasal 2 ayat (2) bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundag-undangan yang berlaku, dalam hal seorang muslim maka perkawinan harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sementara bagi non muslim perkawinan tersebut harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Beberapa hari setelah putusan MK dibacakan, masyarakat bereaksi dengan pro dan kontra, maklum, norma hukum yang diubah oleh MK adalah bagian dari hukum perkawinan yang sebagian besar diadopsi dari hukum Islam (Fiqih).

Latar belakang diuji nya norma dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini dianggap sebagai pelanggaran atas hak konstitusional sebagaimana UUD 1945 mengatur dalam Pasal 28B ayat (2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Hilangnya hubungan perdata sang anak dengan ayah biologisnya berakibat pada tidak adanya hak-hak keperdataan lainnya seperti hak nafkah dan hak waris. Dalam konteks ke -indonesia-an Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bisa berdampak pada dua kondisi kelahiran anak. Pertama, anak yang dilahirkan tanpa perkawinan, kedua, anak yang dilahirkan di dalam perkawinan sirri. Padahal dalam hukum Islam dua kondisi kelahiran anak tersebut jelas dibedakan. Anak yang dilahirkan di dalam perkawinan sirri adalah anak sah dalam Islam dan secara otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, karena sebenarnya dalam Islam tidak mengenal perkawinan sirri. Sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan harus dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya.

Dengan putusan MK ini maka setiap anak yang dilahirkan harus dinasabkan kepada ayah biologisnya asal dapat dibuktikan secara ilmiah tentang adanya hubungan biologis tersebut, tanpa melihat ada atau tidaknya hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya atau perkawinan tersebut dicatatkan atau tidak (sirri). Norma baru ini sejalan dengan pemenuhan hak konstitusional sang anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 agar anak dapat tumbuh, dan berkembang tanpa ada hak yang dikurangi.

Dalam ajaran filsafat hukum, norma hukum harus dapat memenuhi 3 asas hukum yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian hukum. Menurut aliran Utilitarian, keadilan dapat diukur dari seberapa besar suatu dampak bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Keadilan bagi sang anak dapat diperoleh dengan suatu perlakuan yang adil tanpa diskriminasi untuk memperoleh hak-hak yang sewajarnya diperoleh bagi anak-anak lain yang dilahirkan di dalam perkawinan yang sah dalam hal nafkah bagi kelangsungan hidup, pendidikan dan masa depannya, termasuk juga hak waris. Asas kemanfaatan,  dengan putusan ini sang anak akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan adanya tanggung jawab ayahnya baik itu berupa nafkah, waris maupun ketenangan psikologis yang berdampak pada kehidupan sosialnya karena statusnya sebagai seorang anak yang mempunyai ayah dan ibu. Sedangkan asas kepastian hukum dapat dijlihat bahwa asal-usul anak jelas dapat diketahui siapa ayah biologisnya, bahwa anak tersebut dilahirkan dari sebuah hubungan biologis laki-laki dan perempuan, karena tidak mungkin seorang perempuan tiba-tiba hamil tanpa melakukan hubungan biologis dengan seorang laki-laki, kecuali ibunda Siti Maryam yang melahirkan Isa. 

Paham Historical Jurisprudence menyebutkan bahwa hukum bukanlah suatu norma yang dibuat, tapi dia harus tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dengan demikian maka fungsi hukum sebagai penertib kehidupan sosial masyarakat menjadi hidup seperti dalam paham Living Law. Perkembangan hukum bukan terletak pada suatu aturan perundang-undangan, putusan pengadilan atau teori hukum, tapi terletak pada masyarakat itu sendiri, maka hukum harus dirumuskan dari suatu potret masyarakat social, karena  hukum harus dapat memecahkan dan menemukan solusi dari suatu permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat agar hukum dapat melindungi hak-hak subjek hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak lagi hanya merupakan konsep dari suatu keadilan yang abstrak.

Perlindungan hak anak di luar perkawinan sah yang lahir dari putusan MK ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dengan adanya norma baru ini MK membantu negara dan pemerintah dalam pemenuhan Pasal 23 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang mewajibkan negara dan pemerintah untuk menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua yang sebelumnya telah direduksi oleh Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Seorang ayah tidak dapat lagi lepas dari tanggung jawab hukum keperdataan dari anak meskipun anak tersebut lahir tanpa adanya perkawinan sah antara ayah dan ibunya. Hak anak dalam kondisi apapun tidak dapat dikurangi karena hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia (‘HAM”)  yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi sebagaimana didefinisikan dalam Pasl 1 ayat (12) UU Perlindungan Anak.

HAM dalam sebuah konsep adalah suatu hak manusia yang dipandang sebagai manusia secara utuh yang yang tidak bisa dikurangi oleh faktro-faktor diluar kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai HAM dengan mencantumkannya dalam konstitusi negara dalam bab XA yang membahas khusus tentang Hak Asasi Manusia, dan mempunyai undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). Negara mempunyai peran dan tanggung jawab dalam melakukan penuhannya (state obligation) maupun dalam bentuk penghormatan terhadap HAM (negative obligation). Maka setiap anak yang dilahirkan harus mendapatkan hak nya secara utuh salah satunya untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan yang sama di depan hukum. Hak seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan, nafkah, waris dan hak keperdataan lainnya dari orang tuanya tidak boleh dikurangi dalam kondisi apalagi disebabkan perbuatan kedua orang tuanya yang dianggap tidak patuh terhadap prosedur maupun norma hukum. Pasal 3 ayat (2) UU HAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Sebagai pembelaan terhadap perempuan, saya setuju dengan MK , karena dengan putusan ini perempuan tidak lagi bertanggung jawab sendiri atas anak yang dilahirkannya tetapi dia akan bertanggung jawab bersama dengan ayah biologis sang anak. Namun sebagian kelompok yang kontra terhadap putusan ini mengatakan bahwa putusan MK bukan hanya mengubah suatu norma hukum tapi juga norma agama, sebagai suatu ajaran yang transendental dan sakral sehingga tidak bisa diubah-ubah sesuai perubahan zaman, selain alasan lain yaitu putusan ini dianggap berpotensi menyuburkan perzinahan. Terkait hal ini, saya mempunyai pendapat yang tentunya juga subjektif.

Menyuburkan atau meminimalisir perzinahan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang perempuan putusan MK sangat kecil pengaruhnya, karena dengan atau tanpa putusan MK  perempuan sejak dulu telah menanggung akibat dari perbuatannya dengan mengasuh dan membesarkan anaknya sendirian. Sedangkan dari sudut pandang laki-laki, putusan ini tentu sangat berpengaruh. Kalau sebelumnya laki-laki bisa meninggalkan perempuan (bukan isteri sahnya) yang dihamilinya tanpa adanya tanggung jawab hukum apapun, maka dengan adanya norma baru  ini laki-laki wajib bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung perempuan tersebut. Hal ini tentu akan menjadi pertimbangan matang bagi laki-laki yang gemar menelantarkan anak dari isteri sirri atau perempuan simpanannya.

Dalam salinan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 memang dalam pemeriksaannya hanya ada satu ahli agama dalam hal ini Islam yang hadir dan memberikan keterangan. Padahal harapan saya, keputusan ini  setidaknya telah mendengarkan keterangan ahli agama paling tidak tiga atau lebih untuk lebih meyakinkan kebenaran atas perubahan status anak di luar kawin ini, karena implementasi dari putusan MK ini dapat dikatakan juga sebagai implementasi dari sebuah keimanan. Keterangan beberapa ahli agama ini penting untuk menjelaskan apakah pe-nasab-an status anak zina merupakan dalil Qoth'i yang mutlak tidak bisa berubah atau dalil Dhonni yang dapat berubah sesuai kondisi zaman tentunya dengan melihat apakah suatu ketentuan tersebut masih applicable atau tidak, meskipun keputusan tetap berada pada para hakim konstitusi.

Dari perspektif Islam, asal usul penetapan anak zina ini berasal dari sebuah keputusan Nabi Muhammad (dalam ilmu Ushul Fiqih disebut “Taqririyah”) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Abu Dawud bahwa pada zaman nabi terdapat seorang laki-laki yang me-li'an (mengingkari) kehamilan isterinya dengan sumpah atas nama Tuhan bahwa bayi yang dikandung isterinya bukan lanaknya. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan me-nasab-kan anaknya kepada ibunya. Keputusan Nabi pada zaman itu tentu sangat tepat dan logis, dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga upaya yang dilakukan oleh nabi hanya dengan meminta laki-laki tersebut bersumpah atas nama Tuhan sebanyak tiga kali. Namun dengan kondisi zaman sekarang dimana ilmu pengetahuan dan teknologi secara terang benderang dapat membuktikan sesuatu yang pada waktu itu belum dapat dibuktikan, pun demikian dengan pembuktian adanya hubungan biologis antara seorang ayah dengan anaknya. Dalam suatu kaidah ushulliyah yaitu suatu pondasi dalam merumuskan hukum, terdapat suatu kaidah yang dikutip oleh Drs. Muchlis Usman MA dalam bukunya Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah yang berbunyi "Taghoyyuru al-ahkam bi taghoyyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal" yang artinya perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat dan keadaan.

Kontroversi penetapan status anak zina ini sebenarnya bukan baru terjadi saat ini setelah putusan MK, tapi jauh-jauh hari para Imam Madzhab besar yang terkenal dalam literatur fiqih Islam pun telah berbeda pendapat. M Ali Hasan dalam bukunya Masail Fiqhiyah al-Haditsah menjelaskan Imam Malik dam Imam Syafi'i berpendapat bahwa anak zina harus dinasabkan kepada ayahnya apabila anak tersebut dilahirkan setelah usia perkawinan ayah ibunya mencapai 6 bulan atau lebih, begitu juga sebaliknya. Pendapat dua imam ini juga didasarkan atas suatu alasan bahwa apabila kelahiran anak kurang dari 6 bulan usia perkawinan ayah-ibunya maka besar kemungkinan anak yang dikandung bukanlah anak dari laki-laki yang menikahinya. Menurut saya, penetapan hukum yang demikian didasarkan pada suatu kemungkinan yang sama-sama belum dapat dibuktikan secara pasti, alias "tebak-tebakan". Pendapat berbeda dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak hasil zina harus dinasabkan kepada ayah biologis tanpa melihat usia perkawinan ayah ibunya dengan kelahiran anak tersebut. Dalam hal ayah ibunya menikah setelah terjadinya kehamilan, maka pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i baru dapat digunakan. Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah logis digunakan dalam hal baik itu ayah ibunya menikah maupun tidak setelah terjadinya kehamilan akibat zina tersebut.

Dalam Islam tidak dikenal dengan adanya dosa turunan sebagaimana dalam surat an-Najm ayat (38) “alla taziru waa zirotun wizro ukhro” bahwa tidak ada orang yang berdosa akibat memikul dosa orang lain. Dengan demikian putusan MK ini sejalan dengan konsep tersebut karena sang anak tidak lagi mendapat hukuman akibat perbuatan ayah ibunya,  namun mereka mendapatkan hak yang sama baik itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah, perkawinan sirri maupun tanpa adanya perkawinan, sehingga sang anak mempunya hak-hak yang sama.

Wallahu a'lam


4 komentar:

  1. Terima kasih atas ilmu yg di sampaikan.

    BalasHapus
  2. Sama-sama belajar. Makasih sudah berkunjung

    BalasHapus
  3. Bu shonifah msh jd advokat?,bgmn menghubungi ibu via telpon untuk sekedar tukar pikiran related dgn artikel ibu diatas ?

    BalasHapus
  4. hi, maaf sudah bertahun-tahun baru kesini lg. dan baru baca komennya. silaturrahim via messenger fb ya. thx

    BalasHapus