Indonesia
sebagai negara yang kaya dengan kekayaan alam yang melimpah terutama
berupa kandungan bumi, minyak dan gas (Migas) membutuhkan
tenaga-tenaga dan sumber daya manusia yang profesional untuk mengelola dan
mengolah agar kekayaan tersebut dalam dimanfaatkan untuk memenuhi
hajat hidup rakyat secara luas serta kesejahteraan ekonomi bangsa
berupa penerimaan pendapatan negara. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) mengamanatkan bahwa
kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
kemakmuran rakyat. Namun harapun tersebut
nampaknya belum seutuhnya dapat diwujudkan. Indonesia masih
memerlukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing untuk
mengelola dan mengolah kekayaan alamnya. Berdasarkan data Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2010 terdapat 44 (empat
puluh empat) Kontrak Kerjasama (KKS) antara pemerintah Indonesia
dengan perusahaan-perusahaan yang mengelola Migas dalam bidang
kegiatan usaha hulu.
Berdasarkan
laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
(BPK) periode pemeriksaan tahun 2006-2009 terdapat kekurangan
penerimaan negara dalam pelaksanaan KKS Migas pada periode 2003-2007.
Kekurangan penerimaan negara ini dalam beberapa bentuk misalnya
biaya-biaya cost recovery
untuk item-item yang tidak berhubungan dengan kegiatan ekplorasi dan
eksploitasi Migas, atau biaya-biaya yang melebihi ketentuan.
Misalnya, dalam laporan audit BPK Nomor V/ATT/2007, sebuah perusahaan
asing yang bertindak sebagai operator blok Migas di Kutai Kartanegara
Kalimantan Timur membebankan biaya sewa rumah pegawai expatriate
dengan jabatan Vice President
sebebsar US$ 4.000 (empat ribu US Dolar) s.d US$ 5.000 (lima ribu US
Dolar), padahal menurut ketetapan Pertamina No. 547/LOI30/95-S7
tanggal 2 Maret 1995 biaya tersebut maksimal sebesar US$ 3.600 (tiga
ribu enam ratus US Dolar).
Pada
hasil pemeriksaan yang sama, BPK menemukan pembebanan biaya sewa
rumah pegawai expatriate
yang ternyata nama-nama yang diajukan tidak terdaftar sebagai pegawai
di perusahaan tersebut. Selain itu terdapat biaya ongkos naik haji
pegawai, biaya tenaga kerja asing tanpa Ijin Mempekerjakan Tenaga
Kerja Asing (IMTA), biaya penggunaan jasa konsultan hukum tanpa
adanya persetujuan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP
MIGAS) sebagaimana ketentuan dalam Pedoman Tata Kerja BP MIGAS No.
007/PTK/VI2004 bahwa penggunaan jasa konsultan hukum harus dengan
persetujuan BP Migas. BP Migas adalah suatu badan hukum milik negara
yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002
yang bertugas untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di
bidang minyak dan gas bumi. Kini BP Migas sendiri telah dibubarkan
oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor: 36/PUU-X/2012, yang
setelah beberapa hari kemudian dibentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas (SKK Migas) yang secara struktural
berada di bawah naungan kementerian ESDM. Suatu lembaga yang
dinyatakan inkonstitusional kemudian diganti “baju” nya saja
untuk dibentuk kembali sehingga menjadi lembaga yang konstitusional.
Lalu kemudian dalam beberapa pekan terakhir kita dikejutkan dengan
kabar penangkapan ketua SKK Migas, Rudi Rubiandini oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi dengan dugaan korupsi.
Kerjasama
pengelolaan Migas yang bertujuan memperoleh keuntungan justru
mengalami kerugian. Berdasarkan pemeriksaan BPK-RI tersebut
kebanyakan kerugian negara dari kerjasama
Migas berasal dari pembebanan Cost
Recovery atau operating
cost dari kegiatan eksplorasi dan
eksploitasi Migas. Kerugian negara ini akibat
belum adanya peraturan yang jelas tentang Cost
Recovery. Pembebanan Cost
Recovery dalam KKS Migas selama ini
didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 35
tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP
35/2004), dan kesepekatan para pihak yang
dituangkan dalam suatu kontrak kerjasama
yang telah ditandatangani oleh para pihak. Pengaturan dalam PP
35/2004 terbatas pada pengaturan yang
bersifat umum. Inilah yang kemudian menyebabkan pembebanan Cost
Recovery yang seharusnya hanya
dibebankan kepada biaya-biaya dan pengeluaran yang berhubungan dengan
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas menyasar ke item-item yang
tidak berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan dan eksploitasi
Migas, dan kemudian pada tahun 2008 lahir Peraturan
Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2008
tentang Jenis-jenis Biaya Kegiatan Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi Yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada
Kontraktor Kerjasama (Permen ESDM No. 22/2008).
Pentingnya
dibuat suatu peraturan perundang-perundangan tersebut untuk
memperoleh kejelasan tentang item-item yang dapat dibebankan kepada
negara.
Permen ESDM No. 22/2008 belum cukup untuk menjadi payung hukum,
sehingga harus dibuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 10/2004) Pasal 7
ayat (1) bahwa Peraturan Menteri tidak termasuk dalam hirarki
peraturan perundang-undangan.Penyebutan
item-item yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
Migas harus dipertegas meskipun tidak menutup kemungkinan untuk
meng-cover item yang
tidak terduga sepanjang masih
relevan dengan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi Migas. Maka di
sinilah diperlukan peran dan pengawasan pemerintah yang berwenang
serta pembenahan peraturan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar