13
Februari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (“MK”)
membacakan putusan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (“UU Perkawinan”) yang diajukan
oleh Machica Mochtar seorang isteri sirri alm Moerdiono yang
kita kenal sebagai Menteri Sekretaris Negara di zaman Orde Baru.
Putusan MK telah mengubah suatu
norma hukum dalam UU Perkawinanan tentang status anak dalam Pasal
43 ayat (1), bahwa anak yang dilahirkan diluar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata (nasab, waris, wali)
dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pemberlakuan norma hukum ini
merupakan turunan dari Pasal 2 ayat (2) bahwa setiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundag-undangan yang berlaku, dalam hal
seorang muslim maka perkawinan harus dicatatkan di Kantor Urusan
Agama, sementara bagi non muslim perkawinan tersebut harus dicatatkan
di Kantor Catatan Sipil.
Beberapa
hari setelah putusan MK dibacakan, masyarakat bereaksi dengan pro dan
kontra, maklum, norma hukum yang diubah oleh MK adalah bagian
dari hukum perkawinan yang sebagian besar diadopsi dari hukum Islam
(Fiqih).
Latar
belakang diuji nya norma dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1)
UU Perkawinan ini dianggap sebagai pelanggaran atas hak
konstitusional sebagaimana UUD 1945 mengatur dalam Pasal 28B ayat (2)
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang
serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Hilangnya hubungan perdata sang anak dengan ayah biologisnya
berakibat pada tidak adanya hak-hak keperdataan lainnya seperti hak
nafkah dan hak waris. Dalam konteks ke -indonesia-an Pasal 43 ayat
(1) UU Perkawinan bisa berdampak pada dua kondisi kelahiran anak.
Pertama, anak yang dilahirkan tanpa perkawinan, kedua, anak yang
dilahirkan di dalam perkawinan sirri. Padahal dalam hukum
Islam dua kondisi kelahiran anak tersebut jelas dibedakan. Anak yang
dilahirkan di dalam perkawinan sirri adalah anak sah dalam
Islam dan secara otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya,
karena sebenarnya dalam Islam tidak mengenal perkawinan sirri.
Sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan harus dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya.
Dengan putusan MK ini maka setiap anak yang dilahirkan harus
dinasabkan kepada ayah biologisnya asal dapat dibuktikan secara
ilmiah tentang adanya hubungan biologis tersebut, tanpa melihat ada
atau tidaknya hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya atau
perkawinan tersebut dicatatkan atau tidak (sirri). Norma baru ini sejalan dengan pemenuhan hak konstitusional sang anak yang
dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 agar anak dapat tumbuh,
dan berkembang tanpa ada hak yang dikurangi.
Dalam ajaran filsafat hukum, norma hukum harus dapat memenuhi 3
asas hukum yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian
hukum. Menurut aliran Utilitarian, keadilan dapat diukur dari
seberapa besar suatu dampak bagi kesejahteraan manusia (human
welfare). Keadilan bagi sang anak dapat diperoleh dengan suatu
perlakuan yang adil tanpa diskriminasi untuk memperoleh hak-hak yang
sewajarnya diperoleh bagi anak-anak lain yang dilahirkan di dalam
perkawinan yang sah dalam hal nafkah bagi kelangsungan hidup,
pendidikan dan masa depannya, termasuk juga hak waris. Asas
kemanfaatan, dengan putusan ini sang anak akan mendapatkan
kehidupan yang lebih baik dengan adanya tanggung jawab ayahnya baik
itu berupa nafkah, waris maupun ketenangan psikologis yang berdampak
pada kehidupan sosialnya karena statusnya sebagai seorang anak yang
mempunyai ayah dan ibu. Sedangkan asas kepastian hukum dapat dijlihat bahwa
asal-usul anak jelas dapat diketahui siapa ayah biologisnya, bahwa
anak tersebut dilahirkan dari sebuah hubungan biologis laki-laki dan
perempuan, karena tidak mungkin seorang perempuan tiba-tiba hamil
tanpa melakukan hubungan biologis dengan seorang laki-laki, kecuali
ibunda Siti Maryam yang melahirkan Isa.
Paham Historical Jurisprudence menyebutkan bahwa hukum bukanlah suatu norma yang dibuat, tapi dia harus tumbuh dan berkembang
bersama masyarakat. Dengan demikian maka fungsi hukum sebagai
penertib kehidupan sosial masyarakat menjadi hidup seperti dalam
paham Living Law. Perkembangan hukum bukan terletak pada suatu
aturan perundang-undangan, putusan pengadilan atau teori hukum, tapi
terletak pada masyarakat itu sendiri, maka hukum harus dirumuskan
dari suatu potret masyarakat social, karena hukum harus dapat
memecahkan dan menemukan solusi dari suatu permasalahan yang timbul
di tengah-tengah masyarakat agar hukum dapat melindungi hak-hak
subjek hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak lagi hanya merupakan
konsep dari suatu keadilan yang abstrak.
Perlindungan
hak anak di luar perkawinan sah yang lahir dari putusan MK ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) bahwa setiap
anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri. Dengan adanya norma baru ini MK membantu negara
dan pemerintah dalam pemenuhan Pasal 23 ayat (1) UU Perlindungan Anak
yang mewajibkan negara dan pemerintah untuk menjamin perlindungan,
pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan
kewajiban orang tua yang sebelumnya telah direduksi oleh Pasal 43
ayat (1) UU Perkawinan. Seorang ayah tidak dapat lagi lepas dari
tanggung jawab hukum keperdataan dari anak meskipun anak tersebut
lahir tanpa adanya perkawinan sah antara ayah dan ibunya. Hak
anak dalam kondisi apapun tidak dapat dikurangi karena hak anak
adalah bagian dari hak asasi manusia (‘HAM”) yang wajib dijamin,
dilindungi, dan dipenuhi sebagaimana didefinisikan dalam Pasl 1 ayat
(12) UU Perlindungan Anak.
HAM
dalam sebuah konsep adalah suatu hak manusia yang dipandang sebagai
manusia secara utuh yang yang tidak bisa dikurangi oleh faktro-faktor
diluar kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan. Indonesia sebagai negara
yang menjunjung tinggi nilai HAM dengan mencantumkannya dalam
konstitusi negara dalam bab XA yang membahas khusus tentang Hak Asasi
Manusia, dan mempunyai undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia (“UU HAM”). Negara mempunyai peran dan tanggung
jawab dalam melakukan penuhannya (state obligation) maupun
dalam bentuk penghormatan terhadap HAM (negative obligation).
Maka setiap anak yang dilahirkan harus mendapatkan hak nya secara
utuh salah satunya untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan yang
sama di depan hukum. Hak seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan,
nafkah, waris dan hak keperdataan lainnya dari orang tuanya tidak
boleh dikurangi dalam kondisi apalagi disebabkan perbuatan kedua
orang tuanya yang dianggap tidak patuh terhadap prosedur maupun norma
hukum. Pasal 3 ayat (2) UU HAM menegaskan bahwa setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil
serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan
hukum.
Sebagai
pembelaan terhadap perempuan, saya setuju dengan MK , karena dengan putusan ini perempuan tidak lagi bertanggung jawab
sendiri atas anak yang dilahirkannya tetapi dia akan bertanggung
jawab bersama dengan ayah biologis sang anak. Namun sebagian kelompok
yang kontra terhadap putusan ini mengatakan bahwa putusan MK bukan
hanya mengubah suatu norma hukum tapi juga norma agama, sebagai suatu
ajaran yang transendental dan sakral sehingga tidak bisa diubah-ubah
sesuai perubahan zaman, selain alasan lain yaitu putusan ini dianggap
berpotensi menyuburkan perzinahan. Terkait hal ini, saya mempunyai
pendapat yang tentunya juga subjektif.
Menyuburkan
atau meminimalisir perzinahan dapat dilihat dari dua sudut pandang.
Dari sudut pandang perempuan putusan MK sangat kecil pengaruhnya,
karena dengan atau tanpa putusan MK perempuan sejak dulu telah
menanggung akibat dari perbuatannya dengan mengasuh dan membesarkan
anaknya sendirian. Sedangkan dari sudut pandang laki-laki, putusan
ini tentu sangat berpengaruh. Kalau sebelumnya laki-laki bisa
meninggalkan perempuan (bukan isteri sahnya) yang dihamilinya tanpa
adanya tanggung jawab hukum apapun, maka dengan adanya norma baru ini
laki-laki wajib bertanggung jawab terhadap anak yang
dikandung perempuan tersebut. Hal ini tentu akan menjadi pertimbangan
matang bagi laki-laki yang gemar menelantarkan anak dari isteri sirri
atau perempuan simpanannya.
Dalam
salinan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 memang dalam pemeriksaannya hanya ada satu ahli agama dalam hal ini
Islam yang hadir dan memberikan keterangan. Padahal harapan saya,
keputusan ini setidaknya telah mendengarkan keterangan ahli agama
paling tidak tiga atau lebih untuk lebih meyakinkan kebenaran atas
perubahan status anak di luar kawin ini, karena implementasi dari
putusan MK ini dapat dikatakan juga sebagai implementasi dari sebuah
keimanan. Keterangan beberapa ahli agama ini penting untuk
menjelaskan apakah pe-nasab-an status anak zina merupakan
dalil Qoth'i yang mutlak tidak bisa berubah atau dalil Dhonni
yang dapat berubah sesuai kondisi zaman tentunya dengan melihat
apakah suatu ketentuan tersebut masih applicable atau tidak,
meskipun keputusan tetap berada pada para hakim konstitusi.
Dari
perspektif Islam, asal usul penetapan anak zina ini berasal dari
sebuah keputusan Nabi Muhammad (dalam ilmu Ushul Fiqih disebut
“Taqririyah”) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam
Abu Dawud bahwa pada zaman nabi terdapat seorang laki-laki yang
me-li'an (mengingkari) kehamilan isterinya dengan sumpah atas
nama Tuhan bahwa bayi yang dikandung isterinya bukan lanaknya.
Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan me-nasab-kan anaknya
kepada ibunya. Keputusan Nabi pada zaman itu tentu sangat tepat dan
logis, dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi
sehingga upaya yang dilakukan oleh nabi hanya dengan meminta
laki-laki tersebut bersumpah atas nama Tuhan sebanyak tiga kali.
Namun dengan kondisi zaman sekarang dimana ilmu pengetahuan dan
teknologi secara terang benderang dapat membuktikan sesuatu yang pada
waktu itu belum dapat dibuktikan, pun demikian dengan pembuktian
adanya hubungan biologis antara seorang ayah dengan anaknya. Dalam
suatu kaidah ushulliyah yaitu suatu pondasi dalam merumuskan
hukum, terdapat suatu kaidah yang dikutip oleh Drs. Muchlis Usman MA
dalam bukunya Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah yang berbunyi
"Taghoyyuru al-ahkam bi taghoyyur al-azminah wa al-amkinah wa
al-ahwal" yang artinya perubahan hukum itu berdasarkan
perubahan zaman, tempat dan keadaan.
Kontroversi
penetapan status anak zina ini sebenarnya bukan baru terjadi saat ini
setelah putusan MK, tapi jauh-jauh hari para Imam Madzhab besar yang
terkenal dalam literatur fiqih Islam pun telah berbeda pendapat. M
Ali Hasan dalam bukunya Masail Fiqhiyah al-Haditsah
menjelaskan Imam Malik dam Imam Syafi'i berpendapat bahwa anak zina
harus dinasabkan kepada ayahnya apabila anak tersebut dilahirkan
setelah usia perkawinan ayah ibunya mencapai 6 bulan atau lebih,
begitu juga sebaliknya. Pendapat dua imam ini juga didasarkan atas
suatu alasan bahwa apabila kelahiran anak kurang dari 6 bulan usia
perkawinan ayah-ibunya maka besar kemungkinan anak yang dikandung
bukanlah anak dari laki-laki yang menikahinya. Menurut saya,
penetapan hukum yang demikian didasarkan pada suatu kemungkinan yang
sama-sama belum dapat dibuktikan secara pasti, alias "tebak-tebakan".
Pendapat berbeda dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak
hasil zina harus dinasabkan kepada ayah biologis tanpa melihat usia
perkawinan ayah ibunya dengan kelahiran anak tersebut. Dalam hal ayah
ibunya menikah setelah terjadinya kehamilan, maka pendapat Imam Malik
dan Imam Syafi'i baru dapat digunakan. Sedangkan pendapat Imam Abu
Hanifah logis digunakan dalam hal baik itu ayah ibunya menikah maupun
tidak setelah terjadinya kehamilan akibat zina tersebut.
Dalam
Islam tidak dikenal dengan adanya dosa turunan sebagaimana dalam
surat an-Najm ayat (38) “alla taziru waa zirotun wizro ukhro”
bahwa tidak ada orang yang berdosa akibat memikul dosa orang lain.
Dengan demikian putusan MK ini sejalan dengan konsep tersebut karena
sang anak tidak lagi mendapat hukuman akibat perbuatan ayah ibunya,
namun mereka mendapatkan hak yang sama baik itu dilahirkan dalam
perkawinan yang sah, perkawinan sirri maupun tanpa adanya perkawinan,
sehingga sang anak mempunya hak-hak yang sama.
Wallahu
a'lam