Selasa, 03 September 2013

Halal Haram Di Negeri Mayoritas Muslim

Sebagai muslim kita mudah sekali mengkosumsi makanan minuman tanpa sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Padahal hidup hidup di negara dengan sistem hukum heterogen, mekanisme labelisasi halal/haram diperoleh dengan cara permohonan. Artinya, produk dengan sertifikat halal sudah pasti halal, dan produk tanpa sertifikat halal belum diketahui halal haramnya, maka tidak bisa juga kita memutuskan bahwa produk tersebut haram. 

Memasuki zaman globalisasi pasar bebas dimana produk makanan minuman dari berbagai negara disajikan di depan kita, mengkonsumsi produk halal memang terasa "ribet". Tapi jika memang kita mau menjalani nilai-nilai  yang diajarkan oleh agama secara menyeluruh, insyaallah hidup akan terasa lebih berkah. Mengapa Islam mengatur hal-hal se-detail dan se-rumit ini? Karena makanan dan minuman yang kita konsumsi membentuk karakter dan sifat. Mari kita renungkan.

Menjalani aktivitas saya seperti sekarang ini, saya bergaul juga dengan teman-teman yang berbeda agama. Mereka teman-teman yang baik (memang saya hanya mau berteman dengan orang baik hee...). Bersama mereka saya biasa makan siang bersama saat di kantor, biasa saling traktir juga, dan saat itulah saya juga tidak sungkan untuk menolak jika makanan itu tanpa label halal MUI, yang paling indah jika mereka berkali-kali minta maaf karena lupa jika mereka mengajak ke tempat yang belum berlabel halal MUI. Namun jika memang mereka tetap ingin makan di tempat tersebut maka terpaksa kami berpisah dan makan masing-masing di tempat yang berbeda, dan setelah itu kami saling menunggu untuk pulang bersama.

"Kembali ke laptop", teman baik saya pak Ahmad Bin Idris, seorang pengacara handal dari kantor Zoelfa & Partners menyatakan bahwa sangat miris sekali, di tengah mayoritas umat Islam di Indonesia kenyataannya produk yang halal diberi label halal, sedangkan produk tanpa label halal berarti tidak diketahui halal/haramnya. Padahal seharusnya, sebagai negara mayoritas muslim, maka produk yang haram yang diberi label haram, atau dengan istilah lain yang lebih patut. Sedangkan produk tanpa label haram berarti sudah pasti halal. Saya rasa pemikiran beliau sangat tepat. 

Semoga pemerintah mampu memperbaiki regulasinya dalam hal ini, tanpa merampas kebebasan beragama penganut agama yang lain dan mengakomodir serta melindungi kepentingan semua umat beragama.

Salam.

Kamis, 29 Agustus 2013

Kerjasama Migas, Bisnis Yang Merugi


Indonesia sebagai negara yang kaya dengan kekayaan alam yang melimpah terutama berupa kandungan bumi, minyak dan gas (Migas) membutuhkan tenaga-tenaga dan sumber daya manusia yang profesional untuk mengelola dan mengolah agar kekayaan tersebut dalam dimanfaatkan untuk memenuhi hajat hidup rakyat secara luas serta kesejahteraan ekonomi bangsa berupa penerimaan pendapatan negara. Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD 1945) mengamanatkan bahwa kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun harapun tersebut nampaknya belum seutuhnya dapat diwujudkan. Indonesia masih memerlukan kerjasama dengan perusahaan-perusahaan asing untuk mengelola dan mengolah kekayaan alamnya. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2010 terdapat 44 (empat puluh empat) Kontrak Kerjasama (KKS) antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan-perusahaan yang mengelola Migas dalam bidang kegiatan usaha hulu.
Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK) periode pemeriksaan tahun 2006-2009 terdapat kekurangan penerimaan negara dalam pelaksanaan KKS Migas pada periode 2003-2007. Kekurangan penerimaan negara ini dalam beberapa bentuk misalnya biaya-biaya cost recovery untuk item-item yang tidak berhubungan dengan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi Migas, atau biaya-biaya yang melebihi ketentuan. Misalnya, dalam laporan audit BPK Nomor V/ATT/2007, sebuah perusahaan asing yang bertindak sebagai operator blok Migas di Kutai Kartanegara Kalimantan Timur membebankan biaya sewa rumah pegawai expatriate dengan jabatan Vice President sebebsar US$ 4.000 (empat ribu US Dolar) s.d US$ 5.000 (lima ribu US Dolar), padahal menurut ketetapan Pertamina No. 547/LOI30/95-S7 tanggal 2 Maret 1995 biaya tersebut maksimal sebesar US$ 3.600 (tiga ribu enam ratus US Dolar).
Pada hasil pemeriksaan yang sama, BPK menemukan pembebanan biaya sewa rumah pegawai expatriate yang ternyata nama-nama yang diajukan tidak terdaftar sebagai pegawai di perusahaan tersebut. Selain itu terdapat biaya ongkos naik haji pegawai, biaya tenaga kerja asing tanpa Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA), biaya penggunaan jasa konsultan hukum tanpa adanya persetujuan Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP MIGAS) sebagaimana ketentuan dalam Pedoman Tata Kerja BP MIGAS No. 007/PTK/VI2004 bahwa penggunaan jasa konsultan hukum harus dengan persetujuan BP Migas. BP Migas adalah suatu badan hukum milik negara yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2002 yang bertugas untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang minyak dan gas bumi. Kini BP Migas sendiri telah dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor: 36/PUU-X/2012, yang setelah beberapa hari kemudian dibentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak Dan Gas (SKK Migas) yang secara struktural berada di bawah naungan kementerian ESDM. Suatu lembaga yang dinyatakan inkonstitusional kemudian diganti “baju” nya saja untuk dibentuk kembali sehingga menjadi lembaga yang konstitusional. Lalu kemudian dalam beberapa pekan terakhir kita dikejutkan dengan kabar penangkapan ketua SKK Migas, Rudi Rubiandini oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan korupsi.
Kerjasama pengelolaan Migas yang bertujuan memperoleh keuntungan justru mengalami kerugian. Berdasarkan pemeriksaan BPK-RI tersebut kebanyakan kerugian negara dari kerjasama Migas berasal dari pembebanan Cost Recovery atau operating cost dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas. Kerugian negara ini akibat belum adanya peraturan yang jelas tentang Cost Recovery. Pembebanan Cost Recovery dalam KKS Migas selama ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (PP 35/2004), dan kesepekatan para pihak yang dituangkan dalam suatu kontrak kerjasama yang telah ditandatangani oleh para pihak. Pengaturan dalam PP 35/2004 terbatas pada pengaturan yang bersifat umum. Inilah yang kemudian menyebabkan pembebanan Cost Recovery yang seharusnya hanya dibebankan kepada biaya-biaya dan pengeluaran yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas menyasar ke item-item yang tidak berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan dan eksploitasi Migas, dan kemudian pada tahun 2008 lahir Peraturan Menteri ESDM Nomor 22 Tahun 2008 tentang Jenis-jenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Yang Tidak Dapat Dikembalikan Kepada Kontraktor Kerjasama (Permen ESDM No. 22/2008).
Pentingnya dibuat suatu peraturan perundang-perundangan tersebut untuk memperoleh kejelasan tentang item-item yang dapat dibebankan kepada negara. Permen ESDM No. 22/2008 belum cukup untuk menjadi payung hukum, sehingga harus dibuat peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana ketentuan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU No. 10/2004) Pasal 7 ayat (1) bahwa Peraturan Menteri tidak termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan.Penyebutan item-item yang berhubungan dengan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas harus dipertegas meskipun tidak menutup kemungkinan untuk meng-cover item yang tidak terduga sepanjang masih relevan dengan kegiatan ekplorasi dan eksploitasi Migas. Maka di sinilah diperlukan peran dan pengawasan pemerintah yang berwenang serta pembenahan peraturan.

Selasa, 09 Oktober 2012

Tuhan Sayang Padaku

Duka derita duka lara di dunia, tidak akan aku sesali atau ku tangisi
sesakit apapun yang kurasakan dalam hidupku, semoga tak membuatku kehilangan kejernihan jiwa
Andaikan dunia mengusir aku dari bumi, aku tak akan merintih atau menangis
ketidakadilan yang dilakukan oleh manusia bukan alasan bagiku untuk membalasnya
Asalkan karena itu Tuhan menjadi sayang padaku
Segala kehendak-Nya menjadi syurga bagi cintaku
Aku tidak takut dengan perkataan manusia, tapi aku takut dengan pandangan Tuhan
Ada dan tidaknya aku semata-mata adalah milik-Nya

#Syair by Kyai Kanjeng Emha Ainun Najib

Senin, 16 Juli 2012

Perintah Yang Digugurkan....




Dalam suatu pertemuan dan obrolan hangat dengan seorang teman dia bercerita kalau dia pergi dari rumah untuk menikahi pacarnya yang tidak direstui orang tuanya. Dalam pandangan ku memang pacarnya tidak mempunyai “cacat syar'i” hehe...., ini hanya soal pandangan dan kriteria manusia dalam memandang kehidupan. Dan itu pun juga yang jadi alasan temanku untuk lebih memilih isterinya (sekarang) dari pada orang tuanya, dia bilang orang tua tidak selalu benar. Spontan saya balik bertanya “lalu apakah orang tuamu salah?”, dia menjawab “tidak juga”. Dia melanjutkan jawabannya, “tapi saya laki-laki, yang sudah mampu menikah dan tidak butuh orang tua atau keluarga yang bertindak sebagai wali untuk menikahkan saya”. Jawaban ini terus mengusik benak saya....

Dia melanjutkan kisahnya, kalau sekarang hidupnya bahagia bersama dengan isterinya. Hmmmm..... bisakah kalimat itu aku maknai  kalau dia bahagia melawan orang tuanya????

Benarkah agama ini mengajarkan demikian? Setahuku ajaran ini adalah ajaran yang linier yang tidak bertabrakan satu sama lain. Lalu mengapa perintah ibadah (menikah) dibenturkan dengan perintah ibadah (taat kepada orang tua) yang lain? Tidak diperlukannya seorang wali nikah baginya dia pahami kalau dia boleh melawan orang tuanya.

Surat al-Isra' ayat (23) yang artinya “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.

Perintah yang sama DIA tegaskan dalam surat an-Nisa' ayat (36), al-Ahqaf ayat (15), maryam ayat (32), luqman ayat (14)

Perintah taat kepada orang tua bukan perintah yang sederhana , perintah itu selalu disandingkan dengan ketaatan dan kewajiban menyembah kepada-Tuhan.

Nabi Muhammad SAW pun menegaskan dalam sabdanya, terdapat 3 amal yang paling utama dan dicintai Allah,(1) Sholat, (2) berbakti kepada kedua orang tua, (3) jihad di jalan Allah" (HR. Bukhori). Imam Bukhori meriwayatkan dalam  riwayat lain bahwa Ridla Allah terletak pada ridho orang tua dan kemarahan Allah terletak kepada kemarahan orang tua.

Masih banyak perintah lain untuk taat kepada orang tua. Dan dari sekian banyak perintah itu tak satupun kutemui bahwa perintah itu menjadi gugur ketika anak laki-laki telah dewasa.

Menikah merupkan penyempunaan separuh agama, maka sebagai suatu ibadah yang sangat tinggi nilainya seharusnya tidak melukai hati orang yang  di bawah telapak kakinya ada syurga. 

Ya Muqollibalqulub..., tsabbit qolbiii 'ala tho'atik. jagalah hati ini untuk selalu taat kepadamu. 
Wallahu a'lam

Gedung Sequis Center, lantai 9
Sudirman, Senayan Jaksel

Ibu...Seandainya tuhan ijinkan manusia bersujud selain kepada-Nya, aku ingin bersujud kepada mu”



Senin, 11 Juni 2012

Eksekusi Jaminan Fidusia Yang Tidak Bersertifikat



Denyut pergerakan ekonomi Indonesia yang tumbuh menjadi peluang bagi para pelaku usaha untuk membangun bisnis di bidang jasa pembiayaan konsumen yang mulai popular sejak tahun 1974 (Abdul Kadir Muhammad: Lembaga Pembiayaan, 2004). Hubungan hukum yang terjalin antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan terwujud dalam bentuk perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, sehingga bentuk perikatan ini harus tunduk pada beberapa aturan terkait diantaranya KUH Perdata Pasal 1313, Pasal 1338, Pasal 1320, UU Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, PP Nomor 86/2000 tentang Tata cara Pendaftaran Jaminan Fidusia, Peraturan Presiden No. 9/2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan peraturan terkait lainnya.

Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok kemudian melahirkan perjanjian turunan yang bersifat accessoir yaitu perjanjian jaminan fidusia dari Leasing (Kreditor) kepada Konsumen (Debitor) demi melindungi dan memberikan kepastian bagi Kreditor bahwa hutang atau kredit yang diberikan kepada Debitor akan terbayar jika terjadi Debitor cidera janji, yaitu dengan eksekusi objek benda jaminan fidusia. Jaminan Fidusia sendiri merupakan suatu jaminan atas benda bergerak yang penguasaannya masih dalam penguasaan Debitor meskipun telah terjadi pengalihan kepemilikan (Ps. 1 butir 1 UU Fidusia).

Beberapa persoalan hukum kemudian muncul mengiringi pertumbuhan usaha dalam praktek perjanjian fidusia ini. Dari sekian banyak kasus dengan kondisi yang berbeda kita dapat menarik satu benang merah yang menjadi akar persoalan. Misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia diatur bahwa pembebanan Objek Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaries, yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia dalam lingkup Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia (“Depkumham”) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Fidusia.

Atas pendaftaran Objek Jaminan Fidusia ini maka penerima Fidusia akan menerima Sertifikat Jaminan Fidusia dengan tanggal berlaku sesuai dengan pendaftaran (Pasal 14 ayat 1), disinilah pangkal persoalannya bahwa jaminan fidusia baru berlaku pada saat didaftarkan bukan pada saat dibuatnya akta jaminan fidusia, sementara UU Fidusia maupun PP-nya tidak mengatur kapan suatu Objek Fidusia harus didaftarkan. Sementara dalam Pasal 15 ayat (2) Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan, artinya jika Debitor cidera janji Kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas objek jaminan fidusia yaitu dengan melakukan pengambilan dan menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Konsekuensi logisnya adalah jika Kreditor tidak mempunyai sertifikat jaminan fidusia maka Kreditor tidak berwenang untuk melakukan eksekusi, atau dengan kondisi lain Debitor berhak mengalihkan Objek Fidusia sebelum Objek fidusia didaftarkan (Ps. 36 UU Fidusia: ketentuan pidana bagi Debitor yang mengalihkan Objek Fidusia tanpa persetujuan Kreditor). Kasus seperti ini dapat dijumpai pada Putusan Kasasi MA No. 213 K/Pid/Sus/2010. Secara singkat, konsumen menjual mobil yang dibeli dari Leasing secara kredit kepada pihak ketiga tanpa persetujuan Leasing. Kasus ini ditarik menjadi kasus pidana terkait dengan norma dalam Ps. 36 UU Fidusia. Pada putusan pengadilan tingkat pertama konsumen dibebaskan dengan pertimbangan majelis hakim Objek Jaminan Fidusia baru didaftarkan pada tahun 2008, sementara pengalihan (penjualan) telah dilakukan pada tahun 2007. Namun pada putusan kasasi MA terdakwa dijatuhi pidana penjara 6 (enam) bulan dan denda Rp. 2.000.000 (dua juta Rupiah).  

 Pada situasi seperti ini dimanakah kekuatan asas "Kebebasan Berkontrak" yang diejawantahkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata?, bahwa sebuah perjanjian menjadi undang-undang bagi para pihak yang menandatanganinya. Hal-hal yang bersifat administratif (pemberlakuan tanggal jaminan sesuai dengan tanggal pendaftaran) seharusnya tidak mengesampingkan suatu asas dalam pemberlakuan suatu ikatan hukum. Idealnya adalah pemberlakuan tanggal pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia diberlakukan sama dengan tanggal pada saat pembuatan Akta Jaminan Fidusia, selain itu ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jaminan Fidusia harus mengatur kapan suatu Objek Jaminan Fidusia wajib didaftarakan, dan apa konsekuensinya jika Objek Jaminan Fidusia tidak didaftarkan namun hanya dibuat Akta Jaminannya saja. Dengan demikian hak penerima fidusia dapat terlindungi secara utuh, dan pemberi fidusia tidak salah memperlakukan suatu Objek Jaminan Fidusia yang masih dalam penguasaannya.
 
Peraturan perundang-undangan memang tidak selalu sempurna, dan cenderung lebih tertinggal dari fakta hukum yang yang hidup di tengah masyarakat, apalagi bagi suatu negara yang menganut sistem hukum civil law. Karena suatu aturan perundang-undangan yang tertulis akan lebih lambat progresnya terkait dengan pembentukan, pengesahan suatu undang-undang. Namun demikian, fakta yang hidup di masyarakat dapat menjadi sumber utama dari amandemen suatu peraturan, karena hukum yang baik adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law), agar kerjasama yang terjalin antar subjek hukum tidak berujung pada sengketa. 

11 Juni 2012, Sequis Center Lantai 9,
Sudirman, Senayan Jaksel

Selasa, 24 April 2012

Sang Profesor yang tak lagi kujumpai disini…..


Seperti biasanya pada jam pulang kantor Jakarta diguyur hujan deras yang semakin menyesakkan lalu lintasnya. Syukur lah situasi yang ruwet ini tidak menyurutkan semangatku untuk datang kesana. Seseorang yang banyak menginspirasiku menasihatkan untuk belajar menyikapi keruwetan Jakarta dengan tenang, dan semua akan terasa ringan jika kita pandai mengelola emosi dan memilih sikap terbaik disegala situasi. Dia yang telah menenggelamkan aku dalam ketenangannya....


Waaahh ternyata sudah sampai....,
Segera aku parkir motor ku, dari dalam sayup terdengar doa penutup pertanda kegiatan telah selesai dan siap melanjutkan kegiatan berikutnya. Moderator memulai memandu acara, ku harapkan kali ini nama beliau yang disebut untuk membimbing kami disini.…….. dan ternyata tidak.
Emmm….. sedikit agak kecewa...

Selesai semuanya aku ingin memastikan pada jadwal yang tertempel di papan pengumuman kapan beliau dapat ku temui, ternyata tak ku jumpai nama beliau. Yaaahhhh.....

4 bulan berlalu…..
Disuatu shubuh beliau muncul di salah satu televisi yang selalu mendatangkan para guru yang bukan hanya mengandalkan kemampuan retorika.
*Jangan lah kita menuhankan hawa nafsu....., semua ibadah sudah ada tuntunannya….., maka ikuti lah tuntunannya. Dalam Islam tidak ada pergantian tahun yang disambut dengan adzan.....

Oouwwhhh......, seketika aku ingat moment 4 bulan yang lalu, dan itulah rangkaian acara saat pergantian tahun ditempat itu, tempat yang tak kujumpai lagi beliau disana. Apa ini sebab beliau tak hadir lagi.....

Sequis Center Lt. 9
Sudirman, Senayan Jaksel

*Kutipan tidak langsung
Dedicated to Prof. Ali Mustafa Yaqub



Senin, 12 Maret 2012

MK Lindungi Hak Anak Hasil Zina


13 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (“MK”) membacakan putusan pengujian Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (“UU Perkawinan”) yang diajukan oleh Machica Mochtar seorang isteri sirri alm Moerdiono yang kita kenal sebagai Menteri Sekretaris Negara di zaman Orde Baru.

Putusan MK telah mengubah suatu norma hukum dalam UU Perkawinanan tentang status anak dalam Pasal 43 ayat (1), bahwa anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata (nasab, waris, wali) dengan ibunya dan keluarga ibunya. Pemberlakuan norma hukum ini merupakan turunan dari Pasal 2 ayat (2) bahwa setiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundag-undangan yang berlaku, dalam hal seorang muslim maka perkawinan harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sementara bagi non muslim perkawinan tersebut harus dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.

Beberapa hari setelah putusan MK dibacakan, masyarakat bereaksi dengan pro dan kontra, maklum, norma hukum yang diubah oleh MK adalah bagian dari hukum perkawinan yang sebagian besar diadopsi dari hukum Islam (Fiqih).

Latar belakang diuji nya norma dalam Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ini dianggap sebagai pelanggaran atas hak konstitusional sebagaimana UUD 1945 mengatur dalam Pasal 28B ayat (2) “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Hilangnya hubungan perdata sang anak dengan ayah biologisnya berakibat pada tidak adanya hak-hak keperdataan lainnya seperti hak nafkah dan hak waris. Dalam konteks ke -indonesia-an Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan bisa berdampak pada dua kondisi kelahiran anak. Pertama, anak yang dilahirkan tanpa perkawinan, kedua, anak yang dilahirkan di dalam perkawinan sirri. Padahal dalam hukum Islam dua kondisi kelahiran anak tersebut jelas dibedakan. Anak yang dilahirkan di dalam perkawinan sirri adalah anak sah dalam Islam dan secara otomatis mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya, karena sebenarnya dalam Islam tidak mengenal perkawinan sirri. Sedangkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan harus dinasabkan kepada ibu dan keluarga ibunya.

Dengan putusan MK ini maka setiap anak yang dilahirkan harus dinasabkan kepada ayah biologisnya asal dapat dibuktikan secara ilmiah tentang adanya hubungan biologis tersebut, tanpa melihat ada atau tidaknya hubungan perkawinan antara ayah dan ibunya atau perkawinan tersebut dicatatkan atau tidak (sirri). Norma baru ini sejalan dengan pemenuhan hak konstitusional sang anak yang dilindungi oleh Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 agar anak dapat tumbuh, dan berkembang tanpa ada hak yang dikurangi.

Dalam ajaran filsafat hukum, norma hukum harus dapat memenuhi 3 asas hukum yaitu asas keadilan, asas kemanfaatan dan kepastian hukum. Menurut aliran Utilitarian, keadilan dapat diukur dari seberapa besar suatu dampak bagi kesejahteraan manusia (human welfare). Keadilan bagi sang anak dapat diperoleh dengan suatu perlakuan yang adil tanpa diskriminasi untuk memperoleh hak-hak yang sewajarnya diperoleh bagi anak-anak lain yang dilahirkan di dalam perkawinan yang sah dalam hal nafkah bagi kelangsungan hidup, pendidikan dan masa depannya, termasuk juga hak waris. Asas kemanfaatan,  dengan putusan ini sang anak akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan adanya tanggung jawab ayahnya baik itu berupa nafkah, waris maupun ketenangan psikologis yang berdampak pada kehidupan sosialnya karena statusnya sebagai seorang anak yang mempunyai ayah dan ibu. Sedangkan asas kepastian hukum dapat dijlihat bahwa asal-usul anak jelas dapat diketahui siapa ayah biologisnya, bahwa anak tersebut dilahirkan dari sebuah hubungan biologis laki-laki dan perempuan, karena tidak mungkin seorang perempuan tiba-tiba hamil tanpa melakukan hubungan biologis dengan seorang laki-laki, kecuali ibunda Siti Maryam yang melahirkan Isa. 

Paham Historical Jurisprudence menyebutkan bahwa hukum bukanlah suatu norma yang dibuat, tapi dia harus tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Dengan demikian maka fungsi hukum sebagai penertib kehidupan sosial masyarakat menjadi hidup seperti dalam paham Living Law. Perkembangan hukum bukan terletak pada suatu aturan perundang-undangan, putusan pengadilan atau teori hukum, tapi terletak pada masyarakat itu sendiri, maka hukum harus dirumuskan dari suatu potret masyarakat social, karena  hukum harus dapat memecahkan dan menemukan solusi dari suatu permasalahan yang timbul di tengah-tengah masyarakat agar hukum dapat melindungi hak-hak subjek hukum itu sendiri, sehingga hukum tidak lagi hanya merupakan konsep dari suatu keadilan yang abstrak.

Perlindungan hak anak di luar perkawinan sah yang lahir dari putusan MK ini sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”) bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dengan adanya norma baru ini MK membantu negara dan pemerintah dalam pemenuhan Pasal 23 ayat (1) UU Perlindungan Anak yang mewajibkan negara dan pemerintah untuk menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua yang sebelumnya telah direduksi oleh Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan. Seorang ayah tidak dapat lagi lepas dari tanggung jawab hukum keperdataan dari anak meskipun anak tersebut lahir tanpa adanya perkawinan sah antara ayah dan ibunya. Hak anak dalam kondisi apapun tidak dapat dikurangi karena hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia (‘HAM”)  yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi sebagaimana didefinisikan dalam Pasl 1 ayat (12) UU Perlindungan Anak.

HAM dalam sebuah konsep adalah suatu hak manusia yang dipandang sebagai manusia secara utuh yang yang tidak bisa dikurangi oleh faktro-faktor diluar kemanusiaannya sebagai makhluk Tuhan. Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai HAM dengan mencantumkannya dalam konstitusi negara dalam bab XA yang membahas khusus tentang Hak Asasi Manusia, dan mempunyai undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”). Negara mempunyai peran dan tanggung jawab dalam melakukan penuhannya (state obligation) maupun dalam bentuk penghormatan terhadap HAM (negative obligation). Maka setiap anak yang dilahirkan harus mendapatkan hak nya secara utuh salah satunya untuk mendapatkan kepastian dan perlakuan yang sama di depan hukum. Hak seorang anak untuk mendapatkan pengasuhan, nafkah, waris dan hak keperdataan lainnya dari orang tuanya tidak boleh dikurangi dalam kondisi apalagi disebabkan perbuatan kedua orang tuanya yang dianggap tidak patuh terhadap prosedur maupun norma hukum. Pasal 3 ayat (2) UU HAM menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Sebagai pembelaan terhadap perempuan, saya setuju dengan MK , karena dengan putusan ini perempuan tidak lagi bertanggung jawab sendiri atas anak yang dilahirkannya tetapi dia akan bertanggung jawab bersama dengan ayah biologis sang anak. Namun sebagian kelompok yang kontra terhadap putusan ini mengatakan bahwa putusan MK bukan hanya mengubah suatu norma hukum tapi juga norma agama, sebagai suatu ajaran yang transendental dan sakral sehingga tidak bisa diubah-ubah sesuai perubahan zaman, selain alasan lain yaitu putusan ini dianggap berpotensi menyuburkan perzinahan. Terkait hal ini, saya mempunyai pendapat yang tentunya juga subjektif.

Menyuburkan atau meminimalisir perzinahan dapat dilihat dari dua sudut pandang. Dari sudut pandang perempuan putusan MK sangat kecil pengaruhnya, karena dengan atau tanpa putusan MK  perempuan sejak dulu telah menanggung akibat dari perbuatannya dengan mengasuh dan membesarkan anaknya sendirian. Sedangkan dari sudut pandang laki-laki, putusan ini tentu sangat berpengaruh. Kalau sebelumnya laki-laki bisa meninggalkan perempuan (bukan isteri sahnya) yang dihamilinya tanpa adanya tanggung jawab hukum apapun, maka dengan adanya norma baru  ini laki-laki wajib bertanggung jawab terhadap anak yang dikandung perempuan tersebut. Hal ini tentu akan menjadi pertimbangan matang bagi laki-laki yang gemar menelantarkan anak dari isteri sirri atau perempuan simpanannya.

Dalam salinan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 memang dalam pemeriksaannya hanya ada satu ahli agama dalam hal ini Islam yang hadir dan memberikan keterangan. Padahal harapan saya, keputusan ini  setidaknya telah mendengarkan keterangan ahli agama paling tidak tiga atau lebih untuk lebih meyakinkan kebenaran atas perubahan status anak di luar kawin ini, karena implementasi dari putusan MK ini dapat dikatakan juga sebagai implementasi dari sebuah keimanan. Keterangan beberapa ahli agama ini penting untuk menjelaskan apakah pe-nasab-an status anak zina merupakan dalil Qoth'i yang mutlak tidak bisa berubah atau dalil Dhonni yang dapat berubah sesuai kondisi zaman tentunya dengan melihat apakah suatu ketentuan tersebut masih applicable atau tidak, meskipun keputusan tetap berada pada para hakim konstitusi.

Dari perspektif Islam, asal usul penetapan anak zina ini berasal dari sebuah keputusan Nabi Muhammad (dalam ilmu Ushul Fiqih disebut “Taqririyah”) yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Abu Dawud bahwa pada zaman nabi terdapat seorang laki-laki yang me-li'an (mengingkari) kehamilan isterinya dengan sumpah atas nama Tuhan bahwa bayi yang dikandung isterinya bukan lanaknya. Kemudian Nabi menceraikan keduanya dan me-nasab-kan anaknya kepada ibunya. Keputusan Nabi pada zaman itu tentu sangat tepat dan logis, dengan segala keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi sehingga upaya yang dilakukan oleh nabi hanya dengan meminta laki-laki tersebut bersumpah atas nama Tuhan sebanyak tiga kali. Namun dengan kondisi zaman sekarang dimana ilmu pengetahuan dan teknologi secara terang benderang dapat membuktikan sesuatu yang pada waktu itu belum dapat dibuktikan, pun demikian dengan pembuktian adanya hubungan biologis antara seorang ayah dengan anaknya. Dalam suatu kaidah ushulliyah yaitu suatu pondasi dalam merumuskan hukum, terdapat suatu kaidah yang dikutip oleh Drs. Muchlis Usman MA dalam bukunya Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah yang berbunyi "Taghoyyuru al-ahkam bi taghoyyur al-azminah wa al-amkinah wa al-ahwal" yang artinya perubahan hukum itu berdasarkan perubahan zaman, tempat dan keadaan.

Kontroversi penetapan status anak zina ini sebenarnya bukan baru terjadi saat ini setelah putusan MK, tapi jauh-jauh hari para Imam Madzhab besar yang terkenal dalam literatur fiqih Islam pun telah berbeda pendapat. M Ali Hasan dalam bukunya Masail Fiqhiyah al-Haditsah menjelaskan Imam Malik dam Imam Syafi'i berpendapat bahwa anak zina harus dinasabkan kepada ayahnya apabila anak tersebut dilahirkan setelah usia perkawinan ayah ibunya mencapai 6 bulan atau lebih, begitu juga sebaliknya. Pendapat dua imam ini juga didasarkan atas suatu alasan bahwa apabila kelahiran anak kurang dari 6 bulan usia perkawinan ayah-ibunya maka besar kemungkinan anak yang dikandung bukanlah anak dari laki-laki yang menikahinya. Menurut saya, penetapan hukum yang demikian didasarkan pada suatu kemungkinan yang sama-sama belum dapat dibuktikan secara pasti, alias "tebak-tebakan". Pendapat berbeda dari Imam Abu Hanifah yang mengatakan bahwa anak hasil zina harus dinasabkan kepada ayah biologis tanpa melihat usia perkawinan ayah ibunya dengan kelahiran anak tersebut. Dalam hal ayah ibunya menikah setelah terjadinya kehamilan, maka pendapat Imam Malik dan Imam Syafi'i baru dapat digunakan. Sedangkan pendapat Imam Abu Hanifah logis digunakan dalam hal baik itu ayah ibunya menikah maupun tidak setelah terjadinya kehamilan akibat zina tersebut.

Dalam Islam tidak dikenal dengan adanya dosa turunan sebagaimana dalam surat an-Najm ayat (38) “alla taziru waa zirotun wizro ukhro” bahwa tidak ada orang yang berdosa akibat memikul dosa orang lain. Dengan demikian putusan MK ini sejalan dengan konsep tersebut karena sang anak tidak lagi mendapat hukuman akibat perbuatan ayah ibunya,  namun mereka mendapatkan hak yang sama baik itu dilahirkan dalam perkawinan yang sah, perkawinan sirri maupun tanpa adanya perkawinan, sehingga sang anak mempunya hak-hak yang sama.

Wallahu a'lam


Jumat, 09 Maret 2012

Yang Dibiarkan


Kontroversi seputar pembubaran suatu organisasi massa ("Ormas") sedang radikal mengemuka di tengah masyarakat, seiring dengan aksi-aksi demo anarkisme yang sering terjadi. Kelompok pendukung dan penentang pembubaran bersuara dengan se-jagad argumen dengan dalil-dalil agama. 

Kalau kita mau berfikir adil, sebenarnya pembubaran bukan suatu solusi yang tepat untuk memberantas aksi-aksi anarkisme yang melanggar hukum. Konstitusi kita melindungi kebebasan berserikat dan berkumpul dalam Pasal 28E ayat (3) yang kemudian diejawantahkan dengan pembentukan Ormas yang diatur dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan ("UU Ormas").

Norma dalam UU Ormas cukup menjelaskan mengenai tujuan pembentukan, larangan kegiatan-kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila atau ketertiban umum, bahkan sampai pada sanksi bagi Ormas yang melanggarnya dengan pembekuan kegiatan atau pembubaran. Meskipun demikian, UU Ormas yang "jadul" ini tetap membutuhkan revisi dan penyempurnaan.

Lalu apa yang salah? Mungkin penegakan hukumnya. Tanpa melihat norma dalam UU Ormas, aksi-aksi anarkisme dan main hakim sendiri sudah jelas suatu pelanggaran hukum menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana ("KUHP"). Pembiaran yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap aksi anarkis inilah yang kemudian dijadikan legitimasi bagi Ormas bahwa apa yang dilakukannya adalah benar dan bukan suatu pelanggaran hukum, apalagi mereka membawa dalil agama yang bagi mereka adalah suatu ajaran yang transenden.

Dari perspektif agama, dalil-dalil peperangan terhadap suatu kemungkaran/kemaksiatan banyak digunakan. Mestinya kita tidak melepaskan suatu konteks kejadian dengan dalilnya yang lahir pada masa peperangan nabi atau dalam konteks Indonesia situasi tersebut bisa dianalogikan dengan zaman penjajahan Jepang atau Belanda di mana belum ada pemerintah yang berdaulat.

Ada 3 peran pengubah kemungkaran yang diajarkan oleh Nabi Muhammad sang panutan, "Siapa yang melihat suatu kemungkaran hendaklah dia mengubah dengan tangannya, kalau tidak mampu maka dengan lisannya, kalau tidak mampu maka dengan hatinya. Ketahuilah bahwa demikian adalah selemah-lemahnya iman". Banyak ulama yang memberikan penafsiran bahwa 3 peran tersebut dijalankan oleh 3 elemen kelompok, yaitu pemerintah dengan kekuasaannya, ulama dengan lisannya dan masyarakat sipil dengan hatinya. Ormas tentu saja termasuk masyarakat sipil yang hanya bisa melakukan pengubahan dengan lisan atau hatinya. Ini bukan berarti masyarakat sipil termasuk golongan yang paling lemah imannya, tapi ada sebuah sistem pemerintahan dan penegakan hukum yang harus dihormati dan ditaati. Al-Qur'an memerintahkan kita untuk tidak hanya taat kepada Tuhan dan Rosul tapi juga taat kepada pemerintah "athii'ulah wa athii'urrosul wa ulil amri min kum...".

Saat melihat aksi demo anarkis melalui tayangan televisi tidak henti-hentinya batin saya menggumam, Ya Tuhan... inikah manusia? Makhluk yang KAU tunjuk sebagai khalifah di bumi ini, karena akal yang telah KAU anugerahkan kepada mereka. Apa fungsi akalnya? Bukankan akal yang membuat manusia lebih tinggi derajatnya dibanding makhluk-Mu yg lain? Kalau manusia sudah tidak memfungsikan akalnya, lalu apa bedanya mereka dengan binatang?

Sebuah hadist nabi yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud "inna al-ghodzoba min as-syaithon, wa inna as-syaithon khuliqo min an-naar......" sesungguhnya kemarahan itu datangnya dari setan, dan setan itu diciptakan dari api......"

Agama kita adalah agama yang sangat besar, sangat komplek ajarannya baik yang berupa ketegasan dalam bertindak maupun yang bersifat saling mengasihi dan penuh rahmat. Kita sebagai ummat harus pandai-pandai memilah dan memilih mana dalil yang tepat untuk kita gunakan sebagai pedoman dalam bertindak. Agama kita tidak akan musnah dari bumi ini, karena Tuhan menjaganya.

Wallahu a'lam

Saudara-saudaraku....., semangat kalian untuk membela agama adalah sesuatu yang sangat mulia, tapi jangan lupa ada saudara kita yang lebih membutuhkan kobaran semangat kalian, merekalah saudara kita yang sedang berjuang di Palestina atas gempuran  tentara Israil.


Sequis Center Building Lt. 9
Sudirman, Senayan Jakarta Selatan

Rabu, 07 Maret 2012

Pojok Hati

Pagi ini dia kembali bertanya "kapan?". Dengan ekspresi ceria sekedar untuk menunjukkan klo aku menjalani semua dengan baik-baik saja, aku jawab klo aku sendiri belum tahu. Dia kembali bertanya apa pesannya sudah disampaikan, sekaligus memintaku untuk siap menghadapi segala kemungkinan. Dalam hati aku menjawab "Baik lah..., ga usah hawatirkan aku soal ini", toh aku sudah pernah menghadapinya, tentunya lebih berat. Aku terus meyakinkannya bahwa apapun yang terjadi adalah atas skenario-Nya.

Di suatu malam, dalam sujudku yang panjang yang aku niatkan untuk merayu Tuhanku agar mengabulkan hajatku........, justru aku tidak sanggup membuka mulutku yang basah dengan tetesan air mata. Bagaimana bisa aku mau merayu-Nya? sedangkan permohonan ampunan-ku pun belum cukup dan mungkin juga belum diterima, apalagi syukur ku...., sejagad rahmat DIA belum pernah aku syukuri.

Kuberanikan diri untuk berbicara kepada-Nya,
Tuhan......, terima kasih KAU telah mengangkatku dari penghiatanku kepadanya
Terima kasih kau telah memaksaku untuk kembali kepada-Mu, meskipun dengan mengeringkan air mataku, ternyata KAU lebih tahu kalau aku tidak mampu bertanggung jawab atas pilihanku saat itu.


Ternyata hanya itu yang berani aku katakan kepada-Nya. Aku tidak sanggup meminta apa yang menjadi keinginanku saat ini, aku hanya mampu berkali-kali meminta ampun.
Yaaahhh...... biarlah begini....... Bukankah Nabi Yunus ketika tertelan ikan  bukan berdoa kepada Tuhan untuk dikeluarkan, tapi beliau justru mengucapkan "laa ilaaha illa anta shubhanaka inni kuntu min adh-dholimiin". Bukankah ibunda Siti Hajar  ketika ditinggalkan Nabi Ibrahim di padang pasir yang tandus bersama Ismail yang terus menangis karena  lapar dan haus bukan rejeki yang beliau minta dari Tuhan, tapi beliau justru meminta ampun "Robbii ighfir....., warham..., wa'fu..."

Dan lag-lagi..... maaf aku belum mampu saat ini. Yakinlah bahwa tidak ada sesuatu yang terlambat atau terlalu cepat, semua datang tepat pada waktunya kalau kita menjadikan Tuhan sebagai pembimbing. Tapi kalau kau tidak sabar......, mohon bantu aku meminta kepada-Nya.

Sequis Center Building Lt. 9
Sudirman, Jakarta Selatan

Haji Pengabdi Syetan


4 Oktober 2011,

Aku duduk bersimpuh berselimutkan mukena beralaskan karpet Turki yang empuk dan hangat. Kunikmati kemegahan bangunnanya, kebersihannya dan ku hirup sejuknya udara di dalam Rumah Allah ini, kurasakan ketenangan jiwa setelah keluar dari penatnya urusan dunia. Di sini aku ingin menempa jiwaku bersama para pembimbing spiritual yang mengagumkan bagiku. Aku ingin menjadi jiwa yang tenang, agar Tuhan memanggilku dengan mesra "Yaa ayyatuhannafshul muthmainnah, irji'ii ilaa robbiki roodhiyatan mardhiyyah, fad khulii fii "ibaadii, wad khulii jannatii".

Ku matikan hape ku agar tidak ada bunyi tuiingg....., blukutuk, plug-plug atau bahkan lagu. aku tidak ingin apapun menggangguku saat ini, apalagi urusan tadi siang yang telah menyita waktuku kurang lebih 9 jam sampai aku harus mencari celah-celah waktu saat panggilan Tuhanku datang. Sekarang saatnya aku hadapkan segenap jiwaku.

Prof. Ali Musthofa Ya'qub, seorang ulama besar ahli Hadist dan Imam Besar Masjid Istiqlal sedang menyampaikan ceramahnya.
*Sejak Haji diwajibkan, Rosululloh Muhammad Saw hanya haji 1x yang kemudian kita kenal dengan Haji Wada', dan umroh hanya  sebanyak 3x, padahal beliau punya banyak kesempatan untuk berkali-kali melakukan haji dan/atau umroh. Sementara kita? Rasanya kalau Allah memberikan rejeki maunya berangkat haji setiap tahun dan umroh setiap bulan. 

Obsesi kita untuk pergi haji dan umroh terkadang sering melupakan ibadah sosial kita. Kita lupa bahwa disekeliling kita masih banyak yang tidak mampu yang membutuhkan pertolongan, ada orang-orang tua yang lapar tidak sanggup lagi berkarya sementara anak mereka entah kemana, anak-anak yatim yang butuh makan, yang tidak mampu membayar biaya pendidikan, masih banyak saudara yang tinggal di tempat yang tidak layak, semua butuh pertolongan.

Ada yang perlu kita tahu, bahwa setan menggoda manusia disesuaikan dengan objek yang digodanya. Setan bukan hanya menyuruh manusia untuk mencuri, berzina, korupsi atau kemaksiatan lain. Setidaknya hal ini pernah terjadi pada seorang sahabat Rosullullah yaitu Abu Hurairah ("AH").

*Pada suatu malam AH mendapati serorang pencuri mendatangi rumahnya, setelah ditangkap pencuri itu mengiba-iba agar dilepaskan dengan alasan dirinya mencuri karena terpaksa, belum makan dan sejumlah alasan lain. Kejadian ini beliau laporkan pada Rosulullah, dan Rosullullah mengatakan bahwa nanti malam pencuri itu pasti datang lagi, dan meminta AH untuk menangkapnya. Pada malam ke-2, ternyata pencuri itu datang lagi dan AH langsung menangkapnya, tapi kejadian malam pertama terulang dan AH melaporkannya lagi kepada Rosullullah. Rosullullah mengatakan dan memerintahkan hal yang sama. Pada malam ke-3 pencuri itu datang lagi, dan AH bertekad tidak akan melepaskan pencuri itu lagi apapun alasannya. Setelah ditangkap, AH mengatakan kalo kali ini pencuri itu tidak akan dia lepaskan, dan pencuri pun siap untuk diserahkan kepada Rosullullah, namun sebelumnya pencuri mengatakan satu hal pada AH yaitu menganjurkan AH untuk membaca ayat kursi sebelum tidur agar tidak diganggu setan. Mendengar nasihat dari pencuri itu akhirnya hati AH luluh dan kemudian dilepaskannya dengan alasan apa yang disampaikan pencuri adalah suatu kebaikan. Kejadian malam ke -3 ini dilaporkannya lagi kepada Rosullulloh dan beliau mengatakan bahwa apa yang disampaikan oleh pencuri itu adalah benar, tapi "tahukah kamu, siapa kah pencuri itu? dia adalah setan". 

Cerita ini menggambarkan bahwa setan juga memerintahkan kita suatu kebaikan agar kita melupakan kebaikan yang lain yang lebih utama. Dan godaan dengan menyampaikan pesan-pesan baik itu tentu ditujukan kepada orang yang baik juga, sedangkan godaan dalam bentuk maksiat ditujukan untuk orang-orang yang gemar berbuat maksiat.

Seorang sahabat Prof. Ali yang bernama Al-Mukarrom Alaudin az-Zaktany yang kebetulan beliau adalah anggota Dewan Syariah Republik Syiria bercerita kepada Prof. Ali bahwa ada seorang ulama Syiria yang didatangi oleh seseorang dan menyampaikan bahwa dirinya ingin berangkat haji untuk yang ke-2 kali nya.Ulama tersebut bertanya, apakah disekitarnya tidak ada anak yatim yang membutuhkan pertolongannya? orang tersebut mengatakan ada, lalu ulama tersebut memerintahkan kepadanya untuk membatalkan haji nya dan menggunkan uangnya untuk membantu anak-anak yatim itu seluruhnya. Pada tahun berikutnya orang tersebut datang lagi dengan menyampaikan hal yang sama, lalu ulama tersebut bertanya apakah disekitarnya tidak ada janda-janda miskin yang membutuhkan pertolongannya? ketika dijawab ada, ulama tersebut memerintahkan agar orang tersebut membatalkan hajinya dan menggunakan uangnya untuk membantu janda-janda miskin tersebut seluruhnya. 
Pada tahun berikutnya orang tersebut datang lagi dan menyampikan hal yang sama, lalu ulama tersebut bertanya apakah disekitarnya semua warga sudah memiliki rumah? ketika dijawab tidak, ulama tersebut memerintahkan untuk membatalkan haji nya dan menggunakan uangnya untuk membantu membangun rumah bagi orang-orang yang belum memiliki rumah.

Kalau saja semua Muslim bisa menjaga keseimbangan antara hablun min allah dan hablun min an-naas maka mungkin tidak ada Muslim yang miskin, itulah makanya Zakat menjadi salah satu Rukun Islam, ditambah dengan bentuk-bentuk sunnah yang lain seperti infaq dan shodaqoh.

Prof. Ali sendiri prihatin dengan fenomena ini sehingga beliau menulis buku yang berjudul "Haji Pengabdi Setan".
http://www.goodreads.com/book/show/12984199-haji-pengabdi-setan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pernah mau mengeluarkan fatwa tentang fenomena haji berkali-kali ini, namun setelah dilakukan penelitian ternyata Nahdhatul Ulama (NU) sudah pernah mengeluarkan fatwa terkait hal ini pada tahun 1971, sehingga MUI membatalkannya.

Di suatu wilayah di Indonesia (saya lupa persisnya) ada yang antrian haji-nya hingga mencapai 13 tahun. ini akibat fenomena banyaknya Muslim yang haji berulang, kenapa tidak kita berikan kesempatan pada yang belum menunaikannya?
Apakah mayoritas Muslim di Indonesia sudah membuat Indonesia menjadi negara yang Baldatun Thoyyibatun wa Robbun Ghofur?

3 November 2011,
Sequish Center Building lantai 9
Sudirman, Jakarta Selatan

*merupakan kutipan tidak langsung

Sabar Telah Menyelamatkan Diri dan Keluarganya

Cerita Seribu Satu Malam,

Seorang pemuda kaya raya berasal dari Bagdad merupakan  seorang yang gemar dan haus akan ilmu. Suatu hari dia ingin melanjutkan pendidikannya ke Istambul Turki. Banyak yang menyarankan agar dia menikah terlebih dahulu sebelum melanjutkan pendidikannya agar ada seseorang yang menjaga hartanya. Dia pun menikah dengan seorang gadis, dan beberapa hari kemudian meninggalkan istrinya di rumah beserta hartanya untuk pergi ke Istambul. Konon pada waktu itu, belajar ke luar negeri bukan hanya butuh waktu 1,2 atau 3 tahun, namun 10 bahkan 20 tahun.

20 tahun kemudian, ketika dia telah merasa cukup dengan ilmunya memutuskan untuk pulang kembali ke Bagdad. Demi menempuh perjalanan panjang dan berhari-hari dari Bagdad ke Istambul, dia mempersiapkan perbekalan berupa makanan dan tidak lupa persenjataan sebagai perlindungan diri. Di zamannya dengan media komunikasi yang masih terbatas, dia melakukan perjalanan pulang tanpa memberitahukan isterinya. Di tengah perjalanan, satu hari sebelum dia sampai ke rumah, dia bermalam di rumah seorang kakek tua dan menyempatkan diri untuk memberi ceramah agama kepada penduduk setempat. Ternyata penduduk sangat antusias dengan kedatangan dan ceramah yang diberikan oleh nya. 

Agar dia bersedia menunda perjalanannya untuk beberapa hari, sang kakek mengajukan pertanyaan kepadanya tentang apakah sumber kebahagiaan itu? Dia pun tidak dapat menjawab, lalu sang kakek memintanya untuk tinggal seminggu lagi dan setelah itu sang kakek akan memberitahukan tentang sumber kesabaran itu.

Nasrudin berpikir panjang, tentu hal ini sangat berat baginya karena 20 tahun dia telah meningglkan isterinya sementara perjalanan untuk menemui isterinya tinggal satu hari lagi. Namun karena keingin tahuannya dan rasa terima kasihnya kepada sang kakek dia bersedia untuk tinggal satu minggu lagi. Setelah satu minggu, sang kakek pun memberitahukan bahwa sumber kebahagiaan adalah SABAR (satu kata  yang sering dan sudah biasa dia dengar), namun tanpa disadari dia bahkan telah menjalankan pesan sabar itu.

Dia melanjutkan perjalanannya dan sampai di depan rumahnya pada waktu  tengah malam.  Namun apa yang dia dengar dari depan rumah sungguh mengiris hatinya, dia mendengar isterinya sedang bercanda dengan seorang pemuda. dia  pun naik pitam dan hampir saja menghunus pedangnya untuk membunuh pemuda itu. Namun pesan sang kakek tentang kesabaran terngiang di telinganya, wajah sang kakek membayang dihadapannya. Pemuda itu membatalkan niatnya dan memutuskan untuk berhenti di sebuah warung kecil dekat rumahnya. Pemuda itu berbicara dengan seorang ibu penjaga warung.

Dalam perbincangannya dia bertanya tentang siapakah yang sekarang mengasuh dan menghidupkan masjid yang berada di kampunya. Penjaga warung pun bercerita bahwa 20 tahun yang lalu ada seorang pemuda  yang mengasuh masjid itu, namun sekarang dia berada di Istambul untuk melanjutkan pendidikannya. Pemuda itu meninggalkam isterinya yang baru beberapa hari saja dinikahinya. Tanpa diketahuinya, isterinya mengandung  seorang anak laki-laki  dari hasil pernikahan itu. Anak itulah yang sekarang mengasuh masjid ini, dia sudah menjadi ulama besar.

Pemuda itu menangis terharu mendengar jawaban penjaga warung. Waktu shubuh tiba, pemuda itu mengikuti sholat berjamaah shubuh di masjid  itu dimana anaknya yang bertindak sebagai Imam.
Pesan sabar dari sang kakek telah menyelamatkan keluarganya.
6 Maret 2012
Sequis Center Lt. 9
Sudirman Jakarta Selatan
Quoted from DR. Ibdalsyah @Rumah ke-Agungan Tuhan

*Kutipan tidak langsung